Jakarta, Jejakpos.id – Pemerhati dan Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji mengungkapkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat beberapa masalah fundamental yang mengaburkan peran pemerintah sebagai pelaksana dan penanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menghapus peran aktif masyarakat dalam sistem pendidikan nasional yang seharusnya ditingkatkan.
“Kekeliruan mendasar mengenai pendidikan adalah kita selalu berbicara mengenai persekolahan. Padahal, di berbagai negara, yang mamanya pendidikan selalu berpusat pada tiga tempat yaitu rumah/keluarga, pergerakan pemuda dan perguruan. Rumah dan orang tua tidak pernah menjadi pusat pendidikan, mereka tidak dilibatkan, padahal rumah itu bisa menjadi pusat pendidikan seperti kesehatan, kesopanan, dan lainnya,” katanya pada forum diskusi terpusat di Gedung DPR RI pada Rabu (21/8/2024).
Menurutnya, rata-rata orang Indonesia tidak sadar bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia sesuai pasal 28C UUD 1945, dan deklarasi HAM. Dijelaskan bahwa pendidikan adalah hak yang melekat dalam hak asasi manusia layaknya ibadah.
“Oleh karenanya pendidikan tidak boleh diperjual belikan, tapi ternyata pendidikan dikomersilkan oleh pemerintah, hingga berencana akan dikenakan pajak. Pola pikir kita memandang pendidikan itu terbalik, PTNB diminta cari duit sementara BUMN merugi. Harusnya pendidikan dikelola sebagai layanan sosial bukan secara bisnis,” tarangnya.
Lanjutnya, pelaksanaan pendidikan, harus meliputi beberapa prinsip seperti kesetaraan, keadilan, kualitas, dan keterbukaan sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945.
Lebih lanjut, Indra menjelaskan bahwa saat ini masih banyak wilayah yang kekurangan institusi pendidikan. Dipaparkan sebanyak 302 kecamatan belum memiliki SMP/MTS dan 727 kecamatan belum memiliki SMA/sMK/MA.
“Belum lagi kalau kita bicara polemik PPDB Zonasi, BOS hanya sebatas bantuan bukan pemberian biaya sehingga banyak pungutan. Harusnya pembiayaan itu dihitung per kepala bukan lembaga, berbagai masalah dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan itu akhirnya berpotensi membunuh sekolah-sekolah swasta,” ujarnya.
Indra juga berpendapat bahwa konstitusi telah memandatkan pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan, namun realita memperlihatkan, sistem pendidikan di Indonesia justru terbagi menjadi dua sistem yakni ada yang tersentralisasi dan terdesentralisasi.
“Pendidikan di bawah Kemendikbud menggunakan sistem desentralisasi lewat pemerintah daerah, sementara untuk pendidikan di bawah Kementerian agama menggunakan sistem sentralisasi. Belum lagi lembaga pendidikan yang dikelola kementerian lainnya dengan berbagai ragam sistem sehingga membuat sistem pendidikan tidak terarah,” bebernya.
Jangan dipolitisasi
Pengamat Pendidikan Karakter Indonesia, Doni Kusuma mengatakan UU sisdiknas mengatur berbagai persoalan seperti penyelenggaraan pendidikan, Pendidikan dasar, wajib belajar, tanggung jawab pendanaan pendidikan, sumber pendanaan pendidikan, pengelolaan anggaran pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan.
“Tetapi hal yang terkait dengan anggaran pendidikan masuk dalam UU Anggaran pendapatan dan belanja negara. Di dalam APBN langsung diatur lewat peraturan presiden. Dan alokasi anggaran pendidikan tidak spesifik diturunkan dari UU Sisdiknas 2003, melainkan lebih ditata di dalam UU APBN untuk tahun anggaran tertentu sesuai kesepakatan DPR dan Pemerintah,” tuturnya.
Menurut Doni, anggaran pendidikan sangat rentan dipolitisasi sebab dilaksanakan bukan berdasarkan amanat UUD dan UU Sisdiknas, tapi diatur oleh kepentingan dua pihak yaitu pemerintah dan legislatif sehingga kerap kali porsi anggaran pendidikan tidak terarah jelas.
“Politik anggaran pendidikan sangat tergantung dari struktur dan konstelasi politik yang ada. Presiden memiliki kewenangan tertinggi membagi-bagikan porsi anggaran pendidikan sesuai program yang menjadi visinya lewat bappenas dan kementerian keuangan.
Doni memaparkan bahwa perkembangan Anggaran pendidikan 2019-2024 (triliun rupiah) selalu meningkat setiap tahunnya. Dalam APBN 2024, total anggaran pendidikan sebesar Rp 665,02 triliun, namun melihat alokasi dari tahun ke tahun, dana pendidikan tidak seutuhnya dikeluarkan oleh Kemendikbud untuk kebutuhan pendidikan.
“Dana tersebut dibagikan kepada Kementerian/lembaga lainnya Rp 32,86 triliun (5%), Transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 346,56 triliun (52%), Anggaran pendidikan pada belanja non-kementerian/lembaga Rp 47,31 triliun (7%), Kementerian agama Rp 62,30 triliun (9%), Pengeluaran pembiayaan Rp 77 triliun (12%), Kemendikbudristek, Rp 98,99 triliun (15%),” terangnya.
Ia berharap kepemimpinan nasional dapat memiliki kepedulian dan komitmen terhadap peningkatan kualitas pendidikan sehingga acuan kebijakan politik anggaran pendidikan bisa dijalankan berdasarkan amanat konstitusi bukan program pemerintah jangka pendek.
“UU Sisdiknas 2003 tidak secara tegas mengatur prioritas pengelolaan anggaran pendidikan terutama terkait penyelenggaraan pendidikan sehingga anggaran pendidikan bisa dipakai untuk berbagai macam kepentingan Kementerian dan lembaga. Aturan yang jelas dalam UU Sisdiknas pun bisa dilanggar seperti anggaran untuk pendidikan kedinasan,” ujarnya.