Kenaikan Anggaran Belum Dibarengi Komitmen Wujudkan Pendidikan Berkualitas dan Berkeadilan

Jakarta, Jejakpos.id – Dalam Pidato Kemerdekaan, Presiden Joko Widodo mengatakan anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722,6 triliun untuk peningkatan gizi anak sekolah, renovasi sekolah, pengembangan sekolah unggulan, serta perluasan program beasiswa.

Menanggapi hal tersebut, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan bahwa jika dilihat dari sisi jumlah besaran angka memang naik. Namun, dari sudut komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, malah terlihat merosot tajam.

“Masih ada jutaan anak tidak sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang katanya ada program wajib belajar 12 tahun. Mana tanggung jawab dan komitmen pemerintah soal ini. Lihat saja pasal 31 ayat 2, semua anak diwajibkan sekolah dan pemerintah wajib membiayainya. Ada dua kata wajib di ayat tersebut. Tapi pemerintah masih belum menunaikan kewajiban konstitusional tersebut,” bebernya, Jumat (16/8/2024).

Lebih lanjut, menurutnya pemenuhan hak dasar pendidikan bagi masyarakat merupakan program wajib dan prioritas. Maka dari itu lebih layak untuk didahulukan daripada alokasi yang lain, seperti makan bergizi gratis.

“Makan gratis ini juga blm jelas, manfaatnya apa dan diberikan kepada siapa? Ini sangat potensial tidak berkeadilan dan salah sasaran. Jadinya, ya buang-buang anggaran dan pencitraan belaka,” kata Ubaid.

“Belum lagi, anggaran makan siang ini diambilkan dari porsi 20% jatah pendiidkan. Akibatnya, ya jelas menggeser alokasi lain yang lebih penting dan mendesak. Anggaran Rp71 triliun untuk makan gratis ini, setara dengan kebutuhan pemenuhan hak anak sekolah bebas biaya di negeri dan swasta, khusunya di jenjang SD dan SMP,” sambungnya.

Ia juga menyoroti program pembiayaan sekolah unggulan. Menurutnya program tersebut hanya akan menimbulkan kemunduran bagi pendidikan di Indonesia.

“Ini pendidikan kita mau di bawa kemana? Kok maju mundur tambah enggak jelas. Kan kita sudah lama menghapua sekolah unggulan dan pemerataan mutu sekolah. Lalu kenapa tahun depan, sekolah unggulan akan dihidupka kembli yang akan berpotensi kesenjangan pendidikan dan memicu ketidakadilan,” tuturnya.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menambahkan bahwa kenaikan anggaran fungsi pendidikan menunjukkan ada perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui anggaran.

“Namun kalau kita mau melihat lagi anggaran fungsi pendidikan itu kan masih belum semua dikelola oleh Kemendikbud-Ristek dan Kemenag, justru pengelolaannya tidak terlalu banyak dibandingkan K/L lain maupun TKDD. Saya melihat persoalan dari anggaran pendidikan masih sama. Anggaran pendidikan yang jumbo belum mampu mengerek indikator PISA yang masih relatif di bawah. Kemudian Indeks Pembangunan Manusia kita juga masih di bawah,” kata Satriwan.

Dia melihat bahwa program unggulan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran akan menjadi polemik, khususnya mengenai desain sekolah unggulan.

“Jika dalam hal ini yang dimaksudkan sekolah unggulan itu dengan rintisan sekolah internasional, hanya akan menjadi diskriminasi. Ada anak yang bisa masuk dan ada juga yang tidak. Dikotomi seperti ini hanya akan membuka jurang lebih lebar antara anak-anak mampu dengan yang miskin. Makanya kami ingin tahu lebih dalam desain konsep pengembangan sekolah unggulan yang direncanakan pemerintah baru nanti,” tegasnya.

Terkait peningkatan gizi anak sekolah, bagi P2G sebetulnya tidak mempersoalkan dari sisi political will. Namun permasalahannya justru terletak dari aspek anggaran, distribusi dan pengelolaan di lapangan.

“Dari anggaran misalnya mau pakai dana apa? Kalau pakai dana BOS itu kami tidak setuju. Karena selama ini kan dana BOS tidak transparan juga. Rata-rata anggaran dana BOS juga tidak terlalu besar per anak. Kemudian mekanisme penganggaran makan siang gratis juga harus transparan dan tidak membebani satuan pendidikan,” kata Satriwan.

“Kalau dilihat dana BOS dari sisi penyalurannya saja sudah tidak ideal bagi sekolah apalagi ditambah makan siang gratis. Misalnya kita tahu pencairan dana BOS kan 3 bulan sekali, itu sekolah sering menutupi kekurangan dari dana pinjaman sebelum cair dana BOS. Kalau ditambah makan siang gratis bisa dibayangkan bebannya akan bertambah,” sambungnya.

Selanjutnya masalah teknis yaitu distribusi di lapangan. Menurutnya belum ada kejelasan bahwa ini tugas dari guru atau siapa, yang memasaknya siapa, kemudian juga mekanisme penyalurannya seperti apa.

Permasalahannya adalah guru-guru di Indonesia khususnya para honorer saat ini masih jauh dari kata sejahtera. Jangan sampai mau membuat anak bergizi tapi mengorbankan kesejahteraan guru.

“Karena kan masih ada masalah pengupahan terlebih bagi honorer. Jadi kami sangat menyayangkan kalau anggaran ini malah tidak diprioritaskan bagi kesejahteraan guru,” ujar Satriwan.

Lalu praktik di lapangan juga dikatakan belum jelas. Jika guru juga yang terlibat misalnya di dalam pendistribusian, pengelolaan jam makan dan seterusnya, hal itu hanya akan menyita waktu guru. Padahal guru juga butuh istirahat, makan siang dan lainnya.

Terakhir Satriwan mengapresiasi program renovasi sekolah yang memang harus diprioritaskan. Pihaknya menyatakan setuju dengan hal ini karena masih banyak sekolah yang mengalami kerusakan, baik dalam skala yang berat dan sedang.

“Hal yang penting juga melengkapi sarana dan prasarana di sekolah baik itu internet, akses terhadap air bersih, toilet, dan lainnya harus jadi prioritas juga karena ada kesenjangan infrastruktur antara di daerah dan perkotaan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *