JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat secara resmi menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Kemensetneg RI, serta Kementerian Sosial RI. Surat ini berisi penolakan tegas terhadap wacana penyematan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden Orde Baru yang kontroversial.
Alasan Penolakan
Soeharto Bukan Pahlawan, Melainkan Simbol Represi dan Kekerasan Negara
Gerakan ini menegaskan bahwa Soeharto bukanlah sosok yang pantas mendapatkan gelar pahlawan. Soeharto dikenal sebagai tokoh yang berkuasa melalui kudeta militer pasca 1965 dan mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun dengan mengabaikan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Laporan resmi Komnas HAM tahun 2012 menyatakan bahwa Soeharto bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Tragedi 1965-1966 yang menewaskan lebih dari 500.000 orang dan meninggalkan trauma sosial mendalam. Selain itu, Soeharto juga terkait dengan sejumlah pelanggaran HAM berat lainnya, seperti:
- Penembakan Misterius (Petrus) pada 1980-an
- Pembantaian Talangsari 1989
- Tragedi Santa Cruz di Timor Leste 1991
- Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis Pro-demokrasi 1997-1998
Hingga kini, tidak ada satu pun kasus tersebut yang diselesaikan secara adil. Penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap hanya akan melanggengkan budaya pelupaan dan rekonsiliasi semu.
Warisan Korupsi dan Oligarki
Data dari Transparency International (2004) menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan korupsi mencapai US$ 15-35 miliar. Sistem ekonomi Orde Baru yang dibangun Soeharto memperkuat kroni-kroni politik dan konglomerat, menciptakan ketimpangan struktural yang masih dirasakan hingga saat ini.
Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Bertentangan dengan Semangat Reformasi dan Konstitusi
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap sebagai tindakan amoral dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan air mata rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak atas kebenaran dan keadilan, sehingga glorifikasi pelaku pelanggaran HAM akan mencederai hak korban dan menutup ruang bagi keadilan transisional yang sejati.
Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, terutama sejarah luka rakyatnya. Pahlawan sejati adalah mereka yang memperjuangkan kebebasan dan keadilan, bukan mereka yang menginjaknya.
Mereka menutup surat terbuka dengan kalimat penuh makna: “Reformasi Tidak Pernah Lahir karena Orde Baru Tidak Pernah Mati.”