Panggung Merdeka 100% : “Bekerja Lebih Sedikit, Hidup Lebih Baik, Dunia yang Adil untuk Semua”

Avatar photo

JEJAKPOS.ID, JAKARTA – Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan yang digembar-gemborkan pemerintah dengan klaim “delapan kemerdekaan,” realitas yang dihadapi mayoritas rakyat justru menunjukkan kontradiksi tajam. Alih-alih merdeka, rakyat masih terperangkap dalam siklus kerja eksploitatif, upah rendah, dan ketidakpastian ekonomi.

Kondisi ini menjadi sorotan utama dalam diskusi yang digelar Panggung Merdeka 100% bertajuk “Bekerja Lebih Sedikit, Hidup Lebih Baik, Dunia yang Adil untuk Semua”. Diskusi ini menghadirkan beragam perspektif dari aktivis dan penggerak sosial, yaitu Ajeng Anggraini (Perempuan Mahardhika), Francesco Hugo (Suara Muda Kelas Pekerja), Echa Waode (Arus Pelangi), dan Guruh Riyanto (SINDIKASI).

Dalam paparannya, Ajeng Anggraini dari Perempuan Mahardhika menyoroti model ekonomi Indonesia yang menurutnya sangat eksploitatif. Ia menilai, negara hanya berfokus pada percepatan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat.

“Hidup kita direduksi jadi mesin kerja: tanpa istirahat, tanpa cuti, tanpa ruang bersosialisasi. Perempuan bahkan menanggung beban ganda, publik dan domestik,” ujar Ajeng. Ia menegaskan, sudah saatnya membalik logika pembangunan menjadi ‘kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja.’

Senada dengan Ajeng, Guruh Riyanto dari SINDIKASI mengkritik indikator ekonomi yang dominan, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), yang dianggapnya gagal mencerminkan kesejahteraan rakyat. Guruh mengusulkan pergeseran ukuran dari PDB ke kesejahteraan nyata pekerja.

“Dengan kemajuan teknologi dan AI, seharusnya waktu kerja bisa dikurangi, bukan malah ditambah,” jelas Guruh, seraya menambahkan bahwa pajak robot atau pajak AI bisa menjadi jalan untuk memperkuat jaminan sosial.

Diskusi juga menyoroti kerentanan yang dialami kelompok spesifik, khususnya anak muda dan komunitas LGBTIQ+. Francesco Hugo dari Suara Muda Kelas Pekerja menggambarkan bagaimana generasi muda kini hidup dalam jeratan kerja yang tidak stabil dan rawan eksploitasi.

“Kondisi kerja kita penuh eksploitasi halus: gaji stagnan, inflasi naik, dan ancaman layoff tiba-tiba,” ungkap Hugo. Ia menyerukan perlunya kerja yang transparan, demokratis, dan kolektif, serta mengusulkan koperasi sebagai jalan untuk membangun solidaritas melawan hegemoni kapitalis.

Sementara itu, Echa Waode dari Arus Pelangi menyoroti diskriminasi yang dihadapi pekerja LGBTIQ+ di tempat kerja. Ia menegaskan bahwa orientasi seksual atau identitas gender kerap dijadikan alasan untuk menghalangi akses terhadap pekerjaan layak.

“Padahal yang menentukan itu skill, bukan penampilan atau siapa yang kita cintai,” kata Echa, menambahkan bahwa negara tidak hanya gagal menyediakan pekerjaan layak, tetapi juga memungut pajak dari mereka sembari terus mendiskriminasi.

Fasilitator diskusi, Tyas Widuri dan Andini N dari Perempuan Mahardhika, menutup acara dengan menekankan pentingnya membangun imajinasi politik-ekonomi yang membebaskan.

“Kita terbiasa menerima eksploitasi seolah wajar, sehingga jarang membayangkan dunia lain yang adil. Padahal, keberanian berimajinasi itulah yang membuka jalan perubahan,” pungkas Tyas dan Andini.

Diskusi ini menegaskan bahwa kerja tidak boleh lagi menjadi sumber penindasan. Ruang percakapan kolektif, seperti yang difasilitasi dalam acara ini, adalah fondasi penting untuk membayangkan dan mengorganisir sebuah masyarakat di mana kerja tidak lagi menjadi penjara, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih layak bagi semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *