Aktivis Silvester Matutina Divonis 16 Bulan Penjara, Kasus Dipandang Sarat Kejanggalan

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Aktivis kemanusiaan Silvester Matutina divonis 16 bulan penjara atas kasus yang berawal dari kritikannya terhadap mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Vonis ini memicu keprihatinan luas di kalangan pegiat hak asasi manusia, yang menilai proses hukumnya penuh kejanggalan dan mengabaikan hak konstitusional warga negara untuk berpendapat.
Kasus ini menjadi ironi karena Silvester Matutina diketahui merupakan salah satu relawan yang membantu pemenangan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Namun, ia justru dilaporkan oleh pihak yang mengatasnamakan Jusuf Kalla setelah mengkritik pernyataan sang mantan wakil presiden yang dinilai diskriminatif.
“Silvester Matutina bukan koruptor, bukan teroris, dia adalah pahlawan bagi kaum minoritas di Indonesia yang berani menyuarakan kebenaran,” kata Maret Samuel Sueken, Ketua Umum Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP), dalam siaran persnya. “Ia berjuang agar Indonesia menjadi negara yang melindungi seluruh warganya, bukan sekadar di atas kertas.”
Kasus ini berawal dari serangkaian kritik yang dilayangkan Silvester Matutina terhadap beberapa pernyataan Jusuf Kalla yang dianggap berpotensi memicu ketidaksetaraan dan diskriminasi, di antaranya:
- Pernyataan Maret 2013 tentang pembangunan gereja yang disebut lebih mudah daripada masjid.
- Pernyataan 12 Mei 2023 mengenai penguasaan ekonomi Indonesia oleh etnis Tionghoa.
- Pertemuan 4 Maret 2017 dengan Zakir Naik, sosok kontroversial yang sering mengkritik agama Kristen.
Menurut JPKP, kritik tersebut merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat dan tidak mengandung unsur pidana. Namun, laporan terus berlanjut hingga persidangan, di mana Silvester Matutina dijerat dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
Beberapa pihak menyoroti kejanggalan signifikan dalam proses hukum kasus ini, termasuk:
- Cacat Prosedural: Laporan polisi tidak diajukan langsung oleh Jusuf Kalla, melainkan oleh pihak ketiga yang mengatasnamakan dirinya, sebuah prosedur yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Unsur Pidana Tidak Terpenuhi: Pernyataan Sylfester dinilai tidak memenuhi unsur-unsur esensial dalam Pasal 156 dan 311 KUHP karena tidak ada unsur hasutan atau provokasi kekerasan.
- Pelanggaran Due Process: Baik Sylfester maupun Jusuf Kalla tidak diberikan kesempatan untuk melaporkan secara langsung, yang melanggar asas equality of arms atau hak atas peradilan yang adil.
Lebih lanjut, vonis 16 bulan penjara dianggap tidak proporsional dan tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28E yang menjamin kebebasan berpendapat.
Maret Samuel Sueken menambahkan, mandeknya eksekusi vonis selama lebih dari enam tahun juga menambah lapisan ironi. Menurutnya, secara hukum, kasus ini seharusnya sudah daluwarsa berdasarkan KUHAP Pasal 27, yang seharusnya membebaskan Sylfester dari hukuman.

“Jika Silvester Matutina harus mendekam di penjara, namanya akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai martir yang berani memperjuangkan hak-hak minoritas. Ia telah menjelma menjadi simbol ketahanan demokrasi dan kebhinekaan di tengah gelombang intoleransi,” pungkas Maret.