Jeritan Hati Orang Tua Korban Kekerasan Orientasi Pecinta Alam di Bitung: “Saya Tidak Ingin Ada Korban Lain”

BITUNG SULAWESI UTARA, JEJAKPOS.ID – Sebuah kasus dugaan kekerasan fisik yang terjadi selama masa orientasi pengenalan anggota baru di salah satu Komunitas Pecinta Alam di Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), kini telah memasuki ranah hukum. Orang tua dari salah satu korban, dengan tekad bulat, secara resmi melaporkan insiden ini kepada pihak kepolisian, memicu perhatian publik terhadap praktik orientasi yang diduga melibatkan tindakan perpeloncoan dan kekerasan.
Laporan ini disampaikan oleh Nurdiana, yang merupakan ibu dari korban berinisial AA (16), seorang siswa SMA. Pelaporan ini bukan semata-mata mencari keadilan untuk putranya, melainkan didorong oleh harapan besar agar praktik kekerasan serupa dapat dihentikan selamanya.
“Kami berharap kasus ini tetap diproses sampai tuntas dan berhentikan komunitas seperti itu,” ujar Nurdiana dengan nada tegas. “Ini saya lakukan supaya tidak ada lagi korban yang mengalami hal serupa di masa depan. Kekerasan semacam ini tidak boleh dibiarkan berlanjut.”
Nurdiana menceritakan, awalnya ia memberikan izin penuh kepada putranya, AA, untuk mengikuti kegiatan pendakian gunung sekaligus orientasi keanggotaan organisasi pecinta alam tersebut. Kegiatan ini dijadwalkan berlangsung selama tiga hari, yaitu dari Jumat hingga Minggu (26-28 September 2025).
Sebagai orang tua, Nurdiana mengaku mendukung penuh kegiatan positif yang diminati anaknya, termasuk menjadi seorang pecinta alam. Keyakinannya untuk memberikan izin semakin kuat lantaran sang anak menyertakan surat resmi dari pihak organisasi yang ditujukan kepada orang tua, yang menjelaskan detail kegiatan selama tiga hari tersebut.
“Saya memberi izin karena anak saya turut menyertakan surat resmi dari organisasi yang menjelaskan tentang kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu,” kata Nurdiana. Ia percaya bahwa dengan adanya surat resmi, kegiatan yang diselenggarakan akan berlangsung aman dan terawasi.
Namun, harapan itu pupus ketika AA kembali dari pendakian. Nurdiana mendapati putranya mengalami sejumlah tanda-tanda kekerasan yang jelas terlihat di bagian wajah.
“Ada bengkak di bagian wajah dan ada lebam biru, bibir pecah,” ungkap Nurdiana, menjelaskan kondisi memprihatinkan sang anak. Ketika ditanya, AA awalnya berdalih bahwa luka-luka itu didapatnya karena “digigit tawon ketika sedang camping.” Meskipun Nurdiana merasa janggal dengan alasan tersebut, ia sempat memilih untuk tidak memperpanjang masalah selama putranya tidak menunjukkan keluhan lebih lanjut.

Titik balik pengungkapan kebenaran terjadi sehari setelahnya. Secara tidak sengaja, Nurdiana mendapati putranya sedang menonton sebuah video yang berisi adegan kekerasan yang terjadi selama kegiatan pendakian. Menyaksikan bukti visual tersebut, Nurdiana segera mendesak AA untuk berterus terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi selama orientasi.
AA pun akhirnya mengaku bahwa ia dan anggota baru lainnya menjadi korban pemukulan yang dilakukan secara bergantian oleh sejumlah senior atau panitia kegiatan.
Namun, hal yang paling membuat Nurdiana murka adalah pengakuan sang anak mengenai adanya instruksi khusus dari pihak penyelenggara. “Tapi yang membuat saya sangat marah, karena ternyata ada instruksi yang diberikan agar supaya apa yang terjadi selama kegiatan tidak boleh diceritakan ke pihak luar,” tegas Nurdiana. “Ini tidak benar.”
Nurdiana melihat adanya unsur kesengajaan dalam aksi kekerasan tersebut, diperparah dengan upaya sistematis untuk menutupi dan menyembunyikan kejahatan yang terjadi dari orang tua maupun pihak berwenang. Hal inilah yang mendorongnya untuk membawa kasus ini ke ranah publik dan hukum. “Saya tidak ingin ada korban-korban lain ke depan,” tutup Nurdiana, menegaskan motivasi utamanya dalam melaporkan kasus ini.
Laporan Nurdiana ini muncul setelah sebelumnya sebuah video orientasi yang menampilkan adegan kekerasan tersebut viral di berbagai platform media sosial.
Dalam rekaman yang meresahkan itu, para anggota baru Komunitas Pecinta Alam terlihat duduk berlutut tanpa mengenakan baju, hanya dipakaikan topi atau slayer berwarna biru yang melilit di leher mereka. Mereka kemudian ditarik satu per satu, lalu mendapatkan tempelengan berulang kali di pipi. Kekerasan tidak berhenti di situ, karena tampak juga tendangan keras ke arah dada yang diterima oleh para anggota baru yang berlutut tersebut.
Saat ini, pihak kepolisian Bitung sedang menindaklanjuti laporan Nurdiana. Diharapkan pengusutan kasus ini dapat mengungkap semua pihak yang bertanggung jawab atas dugaan kekerasan ini, serta menjadi pelajaran serius bagi komunitas atau organisasi manapun agar menghentikan praktik orientasi dengan kekerasan yang melanggar hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.