Terkuak: Motif Finansial di Balik Aksi “Bjorka” dan Percobaan Pemerasan Bank Swasta

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Teka-teki di balik sosok yang mengklaim diri sebagai peretas (hacker) “Bjorka” menemui titik terang. Aparat kepolisian berhasil meringkus WFT, seorang pria berusia 22 tahun asal Kakas Barat, Minahasa, Sulawesi Utara, yang diduga kuat merupakan pemilik akun yang mengklaim telah meretas dan menjual data 4,9 juta nasabah salah satu bank swasta di Indonesia.
Namun, pengungkapan kasus ini tidak hanya berhenti pada penangkapan. Pihak kepolisian mengungkapkan motif utama di balik aksi WFT: kebutuhan finansial. Lebih lanjut, terungkap bahwa sebelum ditangkap, WFT sempat melakukan aksi yang lebih nekat dengan mencoba melakukan pemerasan terhadap bank swasta yang datanya ia klaim telah diretas.
Menurut keterangan resmi dari Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya, aksi WFT dipicu oleh desakan ekonomi. Ia diduga mencoba memanfaatkan klaim peretasan data nasabah yang ia unggah di media sosial dan dark forum sebagai alat untuk memeras pihak bank.
WFT berupaya menjalin kontak dengan bank swasta tersebut dengan tujuan meminta sejumlah uang tebusan agar data nasabah yang ia klaim dimiliki tidak disebarluaskan. Tindakan ini jelas menunjukkan bahwa ambisi WFT tidak hanya sebatas unjuk gigi di dunia maya, melainkan memiliki motif kriminal yang berorientasi pada keuntungan materi.
Sayangnya—bagi WFT—percobaan pemerasan tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak bank swasta dilaporkan tidak merespons permintaan atau ancaman yang dilayangkan oleh WFT, sehingga upaya kriminal tersebut gagal total. Kegagalan ini, ironisnya, menjadi salah satu petunjuk awal bagi aparat untuk mengusut dan akhirnya melacak keberadaan sang terduga hacker.
Penangkapan WFT ini adalah hasil dari penyelidikan intensif yang dilakukan oleh pihak kepolisian, yang berawal dari laporan pihak bank terkait dugaan akses ilegal. WFT kini dihadapkan pada serangkaian dakwaan serius terkait pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Terduga pelaku dijerat dengan Pasal 46 juncto Pasal 30 (Akses Ilegal) dan/atau Pasal 48 juncto Pasal 32 (Manipulasi Data), serta Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 (Membuat Informasi Seolah-olah Otentik). Dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara, kasus ini menjadi pengingat tegas akan konsekuensi hukum dari kejahatan siber, terutama yang dimotivasi oleh desakan ekonomi dan melibatkan percobaan pemerasan terhadap institusi vital.
Saat ini, WFT telah diamankan dan proses penyidikan lebih lanjut tengah dilakukan untuk menggali seluruh keterlibatannya dan motif-motif lain yang mungkin ada dalam aksi-aksi peretasan dan manipulasi data yang selama ini meresahkan publik.
