KontraS dan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Keras Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: ‘Pengkhianatan Reformasi dan Impunitas Sempurna’

JAKARTA, JEJAKPOS.ID Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan penolakan keras terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Pernyataan sikap yang disampaikan dalam konferensi pers di Kantor KontraS di Jakarta Pusat pada Senin (03/11) ini, menyoroti bahwa pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap mandat Reformasi dan dinilai sebagai bentuk “impunitas sempurna” atas dosa-dosa Orde Baru.

Acara yang dihadiri oleh sekitar 25 peserta ini menampilkan enam narasumber dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk korban langsung pelanggaran HAM berat di era Soeharto.

Korban Bersuara: Trauma yang Tak Terpulihkan

Para korban secara emosional menyampaikan alasan penolakan mereka. Uci, korban dari peristiwa 1965, menyampaikan bahwa jutaan anak kehilangan orang tua, mengalami penderitaan, dan menghadapi diskriminasi regulasi yang menghancurkan masa depan mereka.

“Kami menolak penganugerahan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional karena tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukannya… Trauma ini tidak akan hilang, dan negara tidak pernah bertanggung jawab penuh dengan memberikan pemulihan,” tegas Uci, yang juga menyoroti stigma Orde Baru terhadap perempuan, seperti diksi “dajjal” untuk Gerwani.

Penolakan serupa disampaikan Saiful, korban selamat dari Peristiwa Tanjung Priok 1984. Ia menyebut peristiwa itu sebagai “pembantaian massal” dan secara tegas menolak pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, khawatir bahwa badan-badan HAM saat ini justru dimanfaatkan untuk “memuluskan hal-hal yang memang berlawanan dengan keinginan para korban.”

Sorotan KontraS: Soeharto Tak Miliki Integritas Moral

Andrie dari KontraS menjelaskan bahwa Soeharto dinilai tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan untuk gelar pahlawan. Alasannya, rekam jejak Orde Baru dipenuhi dengan:

  1. Pelanggaran HAM Berat: KontraS mencatat sembilan kasus yang didokumentasikan Komnas HAM, termasuk Peristiwa ’65-’66, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok (1984), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), dan Trisakti, Semanggi 1 & 2 (1998-1999).
  2. KKN dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif.

“Rencana pemberian gelar dinilai menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif korban yang belum pernah mendapatkan pemulihan,” jelas Andrie.

Pengkhianatan Terbesar bagi Reformasi

Pakar hak asasi manusia juga menyoroti dampak politik dari wacana ini. Nia dari AJAR (Asia Justice and Rights) menegaskan bahwa usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk “impunitas sempurna”.

“Jika gelar ini diberikan, ini berarti impunitas adalah budaya kita… Soeharto adalah wajah impunitas,” tandas Nia, sambil mencontohkan kekerasan struktural, kekerasan seksual, dan penguasaan sumber daya alam di Aceh dan Timor Leste selama Orde Baru.

Khairul dari Koalisi Masyarakat Sipil menambahkan bahwa menominasikan Soeharto adalah pengkhianatan terbesar terhadap mandat Reformasi 1998. “Menghidupkannya kembali melalui penganugerahan Pahlawan Nasional sama saja dengan mengakhiri Reformasi itu sendiri,” kritiknya, menuntut agar nama Soeharto dikeluarkan dari daftar nominasi.

Senada dengan itu, Adi Putra dari PARSIAL mengingatkan bahwa Rezim Orde Baru adalah “mesin pembunuh” dengan jejak korupsi yang tak tuntas, di mana indikasi korupsi mencapai US$15–35 miliar. “Pemberian gelar ini dinilai mencederai nilai-nilai Reformasi 1998 dan bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/1998,” tutup Adi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup