Warga Kompleks Pejuang Berlan Tolak Pengosongan Paksa, Minta Prabowo Turun Tangan

JAKARTA, JEJAKPOS. ID — Warga Kompleks Pejuang Berlan, Matraman, Jakarta Timur, kembali menyatakan penolakan terhadap pengosongan paksa rumah-rumah warga yang dilakukan Kodam Jaya sejak sekitar satu minggu terakhir. Mereka menilai proses tersebut dilakukan tanpa dialog yang memadai dan hanya disertai tawaran kompensasi sebesar Rp20 juta.
Kompleks Berlan sejak lama dikenal sebagai hunian para pejuang Republik Indonesia pasca-kemerdekaan. Saat ini terdapat tujuh rumah yang masuk daftar eksekusi oleh Kodam Jaya. Satu rumah telah dieksekusi pada Kamis, 12 November 2025. Hari ini, Rabu (26/11/2025), pengosongan kembali dilakukan dengan pengerahan sekitar 30 personel TNI.
Warga menganggap tindakan tersebut tidak manusiawi, tidak proporsional, serta berpotensi melanggar hak asasi manusia. Mereka juga menilai pengosongan itu mengabaikan nilai sejarah karena rumah-rumah yang disengketakan merupakan peninggalan para pejuang 45.
Para penghuni mengaku telah mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sekretariat Negara pada 20 November 2025. Mereka meminta penangguhan eksekusi hingga ada tanggapan resmi dari Presiden. Namun, Kodam Jaya yang dipimpin Mayor Ilyun tetap melanjutkan upaya eksekusi pada hari ini.
Dalam wawancara dengan salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya, ia menjelaskan bahwa eksekusi hari ini merupakan pengosongan kedua, yakni rumah nomor 24.
“Rumah ini peninggalan yang dulu berperang melawan penjajahan Belanda. Setelah Belanda pergi, para pejuang merebut dan menempati rumah ini. Jadi ini bukan rumah yang dikasih pemerintah,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut telah dihuni sejak 1951, masa ketika belum ada sertifikat hak milik dan yang berlaku hanyalah eigendom. Dokumen eigendom itu disebutkan telah diminta negara pada masa lalu. Menurutnya, pada 2016 warga mengetahui bahwa tanah di kawasan tersebut telah disertifikasi atas nama Pemerintah Indonesia c.q Kementerian Pertahanan.
Warga juga menilai proses pengosongan ini mengabaikan fakta bahwa keluarga penghuni telah menetap lebih dari lima dekade serta rutin membayar PBB, listrik, dan air. Dalam proses penerbitan sertifikat, warga tidak diinformasikan maupun dilibatkan sama sekali.
“Kami tinggal di sini lebih dari 50 tahun, bayar PBB, listrik, air semuanya sendiri. Bangunan juga masih orisinil, hanya tambahan kecil seperti garasi atau pagar,” ungkapnya.
Selain itu, warga menyoroti dugaan penyalahgunaan kewenangan karena rumah-rumah tersebut disebutkan akan dialokasikan sebagai rumah dinas pejabat militer.
“Tapi kata orang-orang, rumah ini akan dipakai untuk pejabat pangdam dari Kalimantan,” jelasnya.
“Kami ini putra-putri pejuang 45. Bapak kami berjuang melawan penjajah. Masa satu-satunya peninggalan ini mau diambil paksa? Semoga Pak Prabowo mendengar dan memberi solusi,” imbuhnya.
Sementara itu, kuasa hukum warga, Gilbert Pasaribu, mengatakan bahwa pihaknya akan menempuh sejumlah langkah hukum atas pengosongan rumah yang dilakukan hari ini.
“Hari ini Kodam tetap menjalankan eksekusi rumah nomor 24. Untuk langkah selanjutnya, kami akan melaporkan komandan operasi yang bertugas hari ini, Mayor Ilyun, ke POM Guntur agar diproses karena kami menilai ada pelanggaran etik dan kemanusiaan,” ujar Gilbert.
Ia menambahkan bahwa pihaknya juga akan berkirim surat ke Kementerian Pertahanan, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Panglima TNI, serta mengajukan laporan kepada Komnas HAM untuk memastikan tidak ada tindakan represif lanjutan.
“Kami mengawal ini ketat karena yang kami bela adalah anak-anak dan keturunan para pejuang 45,” tegasnya.














