Warga Dairi Tuntut KLHK ‘Mati Suri’kan Izin PT. Dairi Prima Mineral!

MEDAN, JEJAKPOS.ID – Pelaksanaan Rapat Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pembahasan Adendum Rencana Kelola Lingkungan-Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL) Tipe A oleh PT. Dairi Prima Mineral (DPM) pada Jumat, 27 November 2025, diwarnai penolakan tegas dari perwakilan masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pendamping warga terdampak. Mereka menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) Ketidaklayakan Lingkungan bagi perusahaan tambang tersebut.
Rapat yang dilaksanakan secara hybrid dan dihadiri oleh perwakilan dinas terkait dari tingkat kabupaten hingga kementerian ini dinilai cacat prosedur oleh pihak warga. Rohani Manalu, yang mewakili Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), membacakan surat penolakan yang fokus pada pelanggaran waktu.
Undangan rapat yang dikirimkan kepada LSM pendamping baru diterima pada tanggal 25 dan 26 November 2025, hanya satu hingga dua hari sebelum pelaksanaan rapat. Bahkan, dokumen Andalan RKL-RPL yang akan dibahas baru dapat diakses setelah pendaftaran melalui Amdalnet.
“Waktu yang sangat terdesak seperti itu sangat tidak memungkinkan bagi peserta untuk membaca, mempelajari, serta menganalisis isi dokumen tersebut dengan seksama,” ujar Manalu.
Penolakan tersebut diperkuat dengan dasar hukum yang jelas. Menurut Pedoman Penilaian Dokumen AMDAL dan RKL-RPL dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dokumen wajib diterima oleh seluruh peserta rapat Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelum rapat dilakukan. Dengan keterlambatan ini, penyampaian surat undangan dan dokumen dari PT. DPM dinyatakan melanggar ketentuan yang berlaku.
Isu transparansi dan dampak negatif juga menjadi sorotan utama dalam penolakan ini. Dalam pemaparan, tim penyusun AMDAL DPM masih dianggap tidak transparan dan gagal menjelaskan dampak buruk yang mungkin dihadapi warga.
Salah satu kekhawatiran terbesar warga mengenai kehadiran Tailing Storage Facility (TSF) atau tempat penampungan limbah tambang, disebut telah dihilangkan dari dokumen AMDAL baru dan digantikan dengan metode backfill material. Metode ini adalah teknik di mana material pengisi ditempatkan kembali ke dalam lubang yang telah digali. Meski demikian, warga tetap skeptis terhadap jaminan keamanan dan dampak lingkungan dari perubahan metode ini.
Gersom Tampubolon, perwakilan warga dari Desa Bongkaras, menyuarakan kekecewaan atas minimnya sosialisasi terkait rapat Komisi Penilai AMDAL.
“Sudah sepatutnya KLHK tidak memberikan kelayakan lingkungan PT. DPM, mengingat Dairi adalah daerah rawan bencana. Belakangan ini kita melihat bagaimana bencana alam menimpa beberapa daerah di Aceh dan Sumatera Utara, yang salah satunya disebabkan kerusakan hutan akibat pertambangan dan penebangan,” tegas Tampubolon, mengaitkan izin tambang dengan potensi peningkatan risiko bencana.
Aspek legal menjadi poin krusial yang disampaikan oleh Nurleli Sihotang, mewakili kuasa hukum warga terdampak. Ia menyebut bahwa pertambangan di Dairi dilarang karena bertentangan dengan peraturan daerah setempat.
Sihotang mengutip Pasal 53 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi Tahun 2014-2034. Peraturan ini secara spesifik menegaskan bahwa Kecamatan Silima Pungga-Pungga, lokasi proyek tambang DPM, merupakan kawasan lahan sawah fungsional yang tidak dapat beralih fungsi.
Larangan penambangan ini juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 277 K/TUN/LH/2024, Tanggal 12 Agustus 2024, yang menjadikannya landasan hukum kuat bagi penolakan warga.
Selain itu, Nurleli juga mengungkapkan bahwa pada 22 Mei 2025, Menteri Lingkungan Hidup telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 888 Tahun 2025 tentang pencabutan kelayakan lingkungan PT. DPM. Meskipun demikian, PT. DPM terus berupaya mengajukan AMDAL baru. Pihak warga telah menyurati KLHK untuk memohon informasi terkait proses pengajuan AMDAL baru tersebut pada 27 Oktober 2025, namun hingga kini belum mendapat balasan.
Menyikapi serangkaian pelanggaran prosedur, potensi ancaman bencana, dan konflik dengan RTRW serta putusan MA, Duat Sihombing dari PETRASA menegaskan tuntutan akhir warga.
“Dengan demikian sudah sepatutnya Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup c/q Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan untuk menerbitkan Surat Keputusan Ketidaklayakan Lingkungan kepada PT. Dairi Prima Mineral,” desak Sihombing.
Nurleli Sihotang berharap KLHK/BPLH RI menjadikan seluruh pertimbangan, termasuk status Dairi sebagai daerah rawan bencana dan pertentangan dengan PP No. 22 Tahun 2021, sebagai dasar utama dalam mengambil keputusan demi masa depan dan keselamatan warga Dairi.














