MALUKU, JEJAKPOS.ID – Negara tampaknya mengulangi kesalahan yang sama seperti di Gunung Botak, di mana tambang ilegal merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial tanpa adanya pemulihan yang berarti. Alih-alih belajar dari kegagalan tersebut, pemerintah justru mengemas perampasan ruang hidup masyarakat adat menjadi kebijakan yang tampak legal dan “manis” di mata publik.
Sepuluh koperasi yang diumumkan bukanlah solusi atas ketimpangan lama, melainkan hanya topeng baru dari skema eksploitasi yang sudah usang, di mana elit tambang dan birokrasi korup bersembunyi di balik nama koperasi.
Zidni Ilman Warnangan, Mahasiswa Hukum Universitas Pattimura, menyuarakan penolakan keras terhadap keberadaan sepuluh koperasi tambang emas yang baru-baru ini diumumkan di Pulau Buru, Maluku Utara. Menurutnya, meskipun menggunakan label “koperasi,” skema ini hanyalah wajah baru dari eksploitasi kolonial yang lama, yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan merusak lingkungan.
Legalitas koperasi tidak otomatis berarti keadilan. Istilah “rakyat” yang sering digunakan dalam narasi pemerintah hanyalah tameng untuk menyembunyikan kepentingan segelintir elit yang jauh dari kehidupan masyarakat adat Kayeli.
Gunung Botak telah menjadi simbol luka ekologis akibat tambang liar yang merusak sungai dan tanah dengan limbah merkuri, serta menimbulkan konflik dan kematian masyarakat lokal.
Masyarakat adat Kayeli tidak dilibatkan dalam proses perizinan dan tidak diakui sebagai pemilik sah wilayahnya, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Proyek koperasi tambang ini melanggar Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada desa adat untuk mengatur kepentingannya sendiri.
Pengalaman pahit dari Pulau Obi, Halmahera Tengah, Taliabu, dan Morotai menunjukkan pola yang sama: proyek tambang besar membawa janji kemajuan, tetapi meninggalkan kehancuran lingkungan, konflik agraria, kekerasan aparat, dan krisis sosial-ekonomi. Masyarakat adat kehilangan tanah dan mata pencaharian tanpa mekanisme persetujuan yang sah dan tanpa suara yang didengar.
”Perjuangan ini bukan perkara mudah, namun sejarah membuktikan bahwa rakyat yang sadar akan haknya tidak akan diam ketika tanahnya dijual atas nama pembangunan. Dari luka-luka Maluku Utara, dari penderitaan di Halmahera, dan dari Gunung Botak, muncul semangat untuk melawan ketidakadilan dan mempertahankan ruang hidup”. Ucap Zidni Ilman Warnangan