BEM Nusantara DIY Tolak Tegas Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

YOGYAKARTA, JEJAKPOS.ID – Wacana penetapan Presiden RI Kedua, H.M. Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional mendapat penolakan keras dari kalangan mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta (BEMNUS DIY) secara terbuka menyatakan penolakan tersebut, menegaskan bahwa pemberian gelar kehormatan tersebut akan mencederai integritas sejarah dan nilai-nilai reformasi.

Koordinator Daerah BEMNUS DIY, Gunawan Harimain, melalui pernyataan resminya di Yogyakarta, Sabtu (9/11), menegaskan bahwa penolakan ini didasari oleh kajian objektif terhadap masa kepemimpinan Orde Baru selama 32 tahun.

“BEMNUS DIY menolak tegas Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Sejarah pemerintahannya mencatat banyak pelanggaran HAM, praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan represi politik yang masif. Penolakan ini adalah upaya menjaga integritas kebenaran sejarah, bukan sentimen politik,” ujar Gunawan.

Empat Poin Penolakan Berdasarkan Kajian Historis

Gunawan menjelaskan bahwa penolakan tersebut merujuk pada kajian mendalam dan penelitian ilmiah (termasuk referensi dari Agustin & Fahruddin, Halili, Robison, Elson, serta McGlynn & Sulistyo). BEMNUS DIY merangkum penolakan tersebut dalam empat alasan utama:

  1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat: Adanya pelanggaran HAM berat yang sistematis pada masa Orde Baru.
  2. KKN yang Terlembaga: Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang berlangsung masif dan terlembaga.
  3. Distorsi Sejarah: Upaya monopoli narasi sejarah yang berpotensi merusak ingatan kolektif bangsa.
  4. Ketidakselarasan Moral dan Hukum: Figur Soeharto dinilai tidak selaras dengan kriteria pahlawan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.

“Kepahlawanan tidak bisa diukur dari keberhasilan ekonomi semata. PDB mungkin meningkat, tetapi kebebasan rakyat dibungkam. Kebenaran sejarah harus mempertimbangkan dimensi moral dan kemanusiaan,” tegasnya.

Sorotan Korupsi dan Pelanggaran HAM Sistemik

BEMNUS DIY secara spesifik menyoroti berbagai tragedi HAM yang terjadi di bawah rezim Orde Baru, seperti peristiwa 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, hingga kasus penculikan aktivis 1997–1998. Menurut Gunawan, pola kekerasan negara dalam peristiwa tersebut tidak pernah dipertanggungjawabkan secara hukum hingga saat ini.

Lebih lanjut, ia mengutip data dari Transparency International (2004) yang pernah menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup abad ke-20 dengan dugaan kerugian negara fantastis mencapai USD 15–35 miliar.

“Fakta-fakta ini cukup membuktikan bahwa kriteria integritas dan keteladanan yang esensial bagi seorang pahlawan nasional jelas tidak terpenuhi,” tegas Koordinator BEMNUS DIY tersebut.

Ancaman terhadap Generasi Muda dan Nilai Reformasi

BEM Nusantara DIY juga khawatir bahwa pemberian gelar pahlawan akan berujung pada distorsi sejarah, di mana Soeharto hanya dikenang sebagai “Bapak Pembangunan” tanpa kritik.

“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat Reformasi 1998 dan menyesatkan pendidikan sejarah bagi generasi muda. Negara akan menegasikan pengalaman korban dan menghapus memori kolektif bangsa yang pahit,” kata Gunawan.

Organisasi mahasiswa tersebut menilai bahwa menganugerahkan penghargaan kepada figur yang terlibat dalam pelanggaran hukum dan praktik korupsi berat akan menciptakan preseden buruk bagi etika kepemimpinan nasional.

“Kalau pelanggaran hukum dan moral bisa ditebus hanya dengan capaian ekonomi, bangsa ini kehilangan arah moral. Kepahlawanan harus dilihat dari keberanian menegakkan keadilan, bukan dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki,” tutup Gunawan, menekankan bahwa penolakan ini adalah tanggung jawab moral dan epistemik untuk memastikan gelar kehormatan negara hanya diberikan kepada sosok yang memenuhi kriteria historis, hukum, dan etika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup