Jakarta, Jejakpos.id – CEO dan Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah S Saminarsih menyebut jika cukai rokok dinaikkan hingga 45% tidak akan merugikan negara.
Ia menyebut pemerintah sebenarnya baru dua kali menaikkan cukai hingga totalnya baru 20%. Berdasarkan penelitian dari CISDI pada 2022 bahwa sebenarnya pemerintah bisa menaikkan cukai rokok sampai 45% dan tidak akan membuat negara rugi dari private sector.
“Salah satu alat untuk mengendalikan konsumsi publik adalah cukai. Ketika cukai dinaikkan agar harga rokok lebih mahal dan orang akhirnya menjadi batasan untuk mengakses barang yang tidak sehat,” kata Diah saat dihubungi, Minggu (29/9/2024).
“Kalau misalnya sekarang daya belinya baik, orang bisa tetap membeli walaupun sudah dinaikkan dua kali. Jadi 20% baru cukai itu meningkatkan harga. Artinya konsumsi orang masih tetap banyak dan akhirnya itu risikonya untuk meningkatkan penyakit itu jadi lebih tinggi,” tambahnya.
Padahal sebenarnya penyakit yang tinggi di masyarakat merupakan Penyakit Tidak Menular (PTM) bisa dilihat dari data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, bahwa 60% populasi sudah terkena PTM.
“Jadi karena kita punya BPJS yang harus mengganti semuanya menjadi beban keuangan negara makin besar. Itu kenapa cukai menjadi salah satu instrumen yang bisa mengendalikan konsumsi menjadi sangat penting,” ujarnya.
CISDI menyayangkan batalnya kenaikan cukai rokok karena program-program kesehatan membutuhkan sumber daya uang yang mungkin bisa berasal selain dari APBN, tetapi diambil dari cukai barang-barang yang tidak sehat salah satunya rokok, makanan berpermanis, yang tinggi gula garam lemak, yang tinggi gula garam lemak minuman, hingga dalam kemasan.
Ongkos penyakit yang disebabkan karena rokok sebenarnya jauh lebih besar dari pendapatan yang diterima negara.
“Pendapatan pajak yang diterima negara dari perusahaan rokok. Jadi ini yang kita sangat menyayangkan hal tersebut, kenapa diambil pilihan itu. Padahal sebenarnya pemerintah yang baru ini bisa memakai data yang sudah dipakai juga oleh Kementerian Keuangan, itu salah satunya adalah dari studinya CSD dengan University of Chicago,” ungkapnya.
BPJS Kesehatan mencatat penyakit yang berbiaya katastropik menempati urutan teratas dalam klaim biaya pelayanan kesehatan Program JKN dan menggerus 25% dari total biaya layanan kesehatan di rumah sakit.
Dihubungi terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizky Anugrah menyebut penyakit berbiaya katastropik merupakan penyakit-penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya serta memiliki komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
“Penyakit yang termasuk dalam golongan berbiaya katastropik adalah golongan penyakit-penyakit tidak menular. Penyakit-penyakit tersebut bersifat laten yang memerlukan waktu lama untuk bermanifestasi, sering tidak disadari, dan membutuhkan waktu yang lama pula untuk penyembuhan atau mengendalikannya,” ungkap Rizky.
Penyakit-penyakit berbiaya katastropik merupakan ini sebenarnya dapat dicegah. Dimulai dari perbaikan gaya hidup seperti peningkatan aktivitas fisik, menghindari minuman beralkohol dan rokok, melakukan diet yang seimbang, mengecek secara berkala kadar gula darah dan kolesterol, mengontrol berat badan, serta meminimalisir menghirup polusi udara.
Di tahun 2023, BPJS Kesehatan membayar penyakit berbiaya katastropik sebesar Rp34,7 triliun atau 25% dari total beban jaminan kesehatan di tahun tersebut. Ada delapan penyakit yang menghabiskan anggaran tersebut.
Dari Rp34,7 triliun beban penyakit berbiaya katastropik, di posisi pertama sekitar Rp17,6 triliun dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membayar pelayanan kesehatan peserta JKN yang mengidap jantung dengan jumlah kasus 20 juta.
Kanker di posisi kedua dengan biaya sebesar Rp5,9 triliun untuk 3,9 juta kasus. Di posisi ketiga ada penyakit stroke dengan jumlah kasus 3,4 juta dan menghabiskan anggaran Rp5,2 triliun.
Lalu diikuti penyakit gagal ginjal yang kasusnya mencapai 1,5 juta dengan biaya Rp2,9 triliun, lalu ada sirosis hati sebanyak 236 ribu kasus dengan biaya Rp446 milar, leukimia sebanyak 161 ribu kasus dengan biaya Rp579 miliar.
BPJS Kesehatan juga menjamin penyakit haemofilia mencapai 149 ribu kasus dengan biaya Rp1,2 triliun dan talasemia sebanyak 347 kasus dan mengahiskan biaya Rp764 miliar.
“Namun dapat kami garis bawahi , BPJS Kesehatan tidak dalam kapasitas menyebutkan bahwa semua penyakit yang disebutkan di atas merupakan penyakit akibat rokok sepenuhnya. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut oleh pihak terkait,” jelas Rizky.
“Namun data penyakit berbiaya katastropik ini merupakan penyakit akibat gaya hidup tidak sehat, sehingga menyebabkan komplikasi dan pembiayaan kesehatan yang berbiaya tinggi,” pungkasnya.