Diduga Terlibat TPPU, Komisaris Utama PT LAM Didesak Segera Dijadikan Tersangka

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Gelombang desakan penuntasan kasus megakorupsi pertambangan kembali bergulir di Ibu Kota. Puluhan massa yang tergabung dalam Perhimpunan Aktivis Hukum Indonesia Sulawesi Tenggara (PAHI-SULTRA) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Jakarta, pada Kamis (04/12/2025) siang.

Dalam aksi tersebut, massa menyuarakan satu tuntutan mendesak: Meminta Kejagung RI mengambil alih kasus dan segera menetapkan Komisaris Utama PT Lawu Agung Mining (LAM), Tan Lie Pin (TLP) alias Lily Salim, sebagai tersangka dalam pusaran korupsi pertambangan di Blok Mandiodo, Konawe Utara.

Koordinator Aksi, Irsan, dalam orasinya menyoroti ketimpangan penegakan hukum yang mencolok. Ia menegaskan bahwa kasus yang merugikan negara hingga Rp5,7 Triliun ini telah menyeret banyak nama besar ke balik jeruji besi, namun menyisakan tanda tanya besar terkait posisi Tan Lie Pin.

Diketahui, tiga petinggi PT LAM lainnya telah menerima ganjaran hukum. Pemilik PT LAM, Windu Aji Sutanto, Direktur Utama Ofan Sofwan, dan Pelaksana Lapangan Glen Ario Sudarto, semuanya telah diproses dan dituntut hukuman penjara.

“Hari ini salah satu aktor utama justru hilang bak ditelan bumi. Tan Lie Pin alias Lily Salim, yang memegang kendali kebijakan perusahaan, seolah terlindungi oleh hukum. Padahal fakta persidangan jelas mengungkap keterlibatannya,” tegas Irsan di depan gerbang Kejagung.

PAHI SULTRA membeberkan bahwa nama Lily Salim mencuat dalam fakta persidangan sebagai sosok yang diduga memerintahkan pembukaan rekening atas nama dua orang Office Boy (OB). Rekening tersebut diduga kuat digunakan untuk menampung uang hasil penjualan nikel secara ilegal.

Praktik kotor ini melibatkan penambangan ilegal di luar izin 22 hektare wilayah IUP PT Antam, di mana hasil tambang dijual ke smelter lain menggunakan “dokumen terbang” atau dokumen palsu dari PT KKP dan perusahaan lainnya.

“Bukti sudah nyata dan meyakinkan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi penghinaan terhadap keadilan. Mengapa Kejati Sultra tak kunjung menetapkannya sebagai tersangka? Apakah ada permainan di balik layar?” seru Irsan mempertanyakan integritas penegak hukum di daerah.

Meragukan keseriusan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra), PAHI SULTRA mendesak Jampiddum dan Jampidsus Kejagung RI untuk turun tangan langsung mengambil alih penanganan kasus ini.

Mereka menilai, kerugian negara sebesar Rp135,8 miliar yang spesifik disebabkan oleh PT LAM—sebagai bagian dari total kerugian Rp5,7 triliun—adalah uang rakyat yang harus diselamatkan.

“Kami datang bukan hanya mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab, tetapi siapa yang harus membayar penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan akibat kerakusan ini. Tidak ada yang lebih besar dari kebenaran, tidak ada yang lebih utama dari keadilan,” pungkas Irsan menutup orasinya.

Aksi ini menjadi peringatan keras bahwa publik terus mengawasi jalannya kasus Blok Mandiodo, menuntut agar hukum tidak tumpul ke atas bagi para pemilik modal yang berlindung di balik kekuasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup