Erwin Aksa Dorong Bansos Berubah Jadi Modal dan Skill Mandiri.

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Debat strategis mengenai efektivitas jangka panjang kebijakan bantuan sosial (bansos) di Indonesia kembali mengemuka di tengah masifnya penyaluran dana menjelang penutupan tahun anggaran. Parlemen kini secara tegas mendesak Pemerintah untuk berani melakukan transformasi fundamental pada program perlindungan sosial. Fokus tidak boleh lagi terpaku pada bantuan konsumtif semata, melainkan harus diarahkan secara bertahap menuju program pemberdayaan yang berkelanjutan demi menciptakan dampak ekonomi permanen.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Erwin Aksa, menggarisbawahi urgensi perubahan paradigma ini. Ia mengakui bahwa penyaluran bansos pada kuartal IV tahun ini—terutama di tengah ancaman inflasi dan gejolak harga komoditas global—adalah langkah responsif yang positif dan tak terhindarkan.
“Di tengah tekanan harga pangan dan ketidakpastian ekonomi global, bantuan senilai Rp600 ribu setiap tiga bulan ini, bisa membantu keluarga penerima manfaat memenuhi kebutuhan pokok mereka,” tutur Erwin Aksa, dalam pernyataannya di Jakarta, dikutip Rabu (29/10/2025). “Penentuan waktu penyaluran sangat strategis, berfungsi sebagai ‘bantalan’ daya beli masyarakat, apalagi menjelang periode Natal dan Tahun Baru yang secara historis sering memicu lonjakan inflasi musiman.”
Meskipun menyambut baik peran bansos sebagai jaring pengaman sosial darurat, politikus senior Partai Golkar ini memberikan kritik strategis yang mendalam. Ia menilai bahwa jika program ini terus dipertahankan dalam format konsumtif, bansos hanya akan menjadi ‘pemadam kebakaran’ temporer yang mahal, namun gagal mengatasi akar penyebab kemiskinan dan kerentanan ekonomi.
“Pemerintah perlu mencatat ini sebagai proyek strategis untuk masa depan. Bansos harus bertransformasi. Pendekatan transfer tunai bagus untuk keadaan darurat,” tegas Erwin. “Tetapi dalam jangka panjang, negara tidak bisa terus-terusan menopang masyarakat dengan subsidi dan transfer tunai tanpa menciptakan kemandirian. Ini akan membebani APBN dan menciptakan ketergantungan.”
Erwin Aksa secara spesifik mendorong agar Pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk mulai mengalihkan sumber daya dan fokus kebijakan sosial ke arah program berbasis produktivitas. Transformasi ini adalah tentang mengubah status penerima bansos dari subjek bantuan menjadi subjek ekonomi yang produktif.
“Dana bantuan yang ada, sedikit demi sedikit, harus didorong ke arah produktif,” usulnya. Implementasi program ini harus detail dan terukur, disesuaikan dengan potensi geografis dan demografis penerima.
Bentuk konkretnya, jelas Erwin, bisa meliputi berbagai skema:
- Pendampingan Usaha Mikro Intensif: Memberikan modal bergulir, pelatihan manajemen keuangan, dan akses pasar bagi ibu rumah tangga penerima bansos untuk mengembangkan usaha rumahan.
- Pelatihan Keterampilan Vokasi: Menyediakan skill spesifik seperti digital marketing, coding dasar, atau keterampilan teknis lainnya yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja lokal dan global bagi generasi muda penerima manfaat.
- Integrasi dengan KUR/Pembiayaan: Memfasilitasi akses penerima bansos produktif ke skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau pembiayaan mikro agar usaha mereka bisa naik kelas.
“Ini akan memberi mereka modal, skill, dan kesempatan nyata untuk mandiri secara ekonomi, tidak lagi harus menengadahkan tangan menunggu bantuan rutin dari Pemerintah,” pungkas Erwin.
Visi jangka panjang dari Komisi VIII DPR ini sangat jelas: menciptakan exit strategy yang terstruktur bagi Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tujuannya adalah mengentaskan mereka secara permanen dari daftar miskin, mengubah mereka menjadi wajib pajak dan pelaku ekonomi, yang pada akhirnya memperkuat basis ekonomi nasional. Dorongan ini menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan perlindungan sosial di Indonesia harus bergeser dari sekadar pengeluaran (konsumtif) menjadi investasi sosial yang menghasilkan pengembalian jangka panjang bagi negara.














