Gusti Purbaya Naik Takhta Sebagai PB XIV, Mampukah Meredam Konflik Takhta yang Abadi?

SOLO, JEJAKPOS.ID – Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, salah satu situs budaya dan sejarah terpenting di Jawa, kini memiliki raja baru. Dalam sebuah prosesi adat agung bernama Jumeneng Dalem Binayangkare, KGPAA Hamengkunegoro (Gusti Purbaya) secara resmi dinobatkan dan naik takhta sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XIV. Upacara sakral ini berlangsung khidmat di Keraton Solo, pada Sabtu (15/11/2025), disaksikan oleh sentana dan abdi dalem yang telah lama mendambakan kepastian kepemimpinan.

Prosesi Khidmat di Jantung Keraton

Prosesi Jumeneng Dalem dilaksanakan dengan mengikuti pakem adat yang sangat ketat, dimulai secara tertutup di dalam Kedhaton (Istana). Setelah menjalani ritual adat internal yang sarat makna spiritual dan filosofis, suasana semakin khidmat ketika Gusti Purbaya, sebagai raja yang baru, muncul dari Kori Kamandungan—pintu utama menuju area publik keraton.

Diiringi alunan gamelan pusaka yang megah dan tarian-tarian sakral, Pakubuwono XIV yang baru dinobatkan melangkah di atas karpet merah menuju Siti Hinggil (tanah yang ditinggikan). Di platform inilah, di hadapan para kerabat dan saksi sejarah, beliau menyampaikan sumpah dan sabda dalem (titah raja) yang menegaskan komitmennya untuk melanjutkan tradisi luhur, menjaga aset budaya Keraton, serta mengayomi masyarakat Solo dan seluruh Nusantara.

Tugas Berat Pakubuwono XIV: Mengakhiri Konflik Internal

Meskipun penobatan ini merupakan momen bersejarah, dinamika internal Keraton Surakarta dikabarkan belum sepenuhnya reda. Keraton ini telah lama dikenal karena konflik perebutan takhta yang berkepanjangan dan memecah belah kerabat (sentana dalem).

Konflik ini kembali mengemuka karena sebelum penobatan Gusti Purbaya, terdapat figur lain dari garis keturunan yang sama, yaitu KGPH Hangabehi, yang juga menyatakan diri sebagai penerus sah takhta. Situasi ini menunjukkan bahwa tugas historis Pakubuwono XIV tidak hanya terbatas pada pelestarian budaya, tetapi juga mencakup upaya keras untuk merekatkan kembali perpecahan di internal kerabat dan mendapatkan pengakuan menyeluruh dari semua faksi.

Penobatan ini diharapkan menjadi titik balik, membawa harapan dari masyarakat dan Pemerintah Kota Solo agar Keraton dapat berfungsi kembali sebagai pusat kebudayaan Jawa yang utuh, damai, dan berwibawa, setelah melalui masa konflik yang menguras energi dan perhatian publik selama bertahun-tahun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup