Jalur Derita di Bengkulu: Kisah Pilu Ibu Keguguran Ditandu Lima Kilometer Gara-gara Akses Jalan Rusak Parah

BENGKULU, JEJAKPOS.ID – Bengkulu kembali menyuguhkan potret pilu akan minimnya infrastruktur yang mengancam nyawa warganya. Sebuah kejadian memilukan menimpa seorang ibu, Suwarti (31), warga Desa Tanjung Agung, Kecamatan Tetap, Kabupaten Kaur, Bengkulu, yang harus menempuh perjalanan sejauh lima kilometer dengan cara ditandu warga setelah mengalami keguguran dan pendarahan hebat pada Senin, 29 September 2025.

Peristiwa ini menjadi tamparan keras mengenai realita akses kesehatan yang terhambat di pelosok negeri.

Pagi itu, sekitar pukul 06.00 WIB, suasana Desa Tanjung Agung diselimuti kekhawatiran yang mencekam. Suwarti tiba-tiba mengalami pendarahan hebat, pertanda jelas bahwa ia telah keguguran dan nyawanya terancam. Keputusan harus segera diambil: Suwarti wajib dibawa ke fasilitas medis terdekat, RSUD Kaur, secepat mungkin.

Namun, harapan untuk mendapatkan penanganan cepat seketika pupus di hadapan kenyataan pahit: akses jalan desa yang nyaris tidak bisa dilewati.

Seperti yang diungkapkan oleh Farizal, tetangga Suwarti, “Ibu Suwarti sekitar pukul 06.00 WIB mengalami keguguran dan pendarahan, harus dibawa ke RSUD Kaur. Namun, karena akses jalan berlumpur dan buruk, tidak ada mobil yang bisa mencapai rumahnya.” Farizal menambahkan bahwa jalanan yang terendam lumpur tebal dan berlubang parah membuat kendaraan roda empat manapun, termasuk ambulans, tidak mampu menembus masuk hingga ke permukiman warga. Warga desa pun harus berpacu dengan waktu, sementara kondisi Suwarti terus memburuk.

Tidak punya pilihan lain, warga Desa Tanjung Agung dengan sigap menunjukkan solidaritas yang mengharukan. Mereka segera bergotong royong membuat tandu darurat yang sangat sederhana, memanfaatkan bilah-bilah kayu seadanya dan sehelai sarung sebagai alas. Tandu ini menjadi satu-satunya ‘alat transportasi’ medis bagi Suwarti.

Dengan hati-hati, sejumlah pria dewasa dari desa tersebut bergantian menggotong tandu yang membawa tubuh lemah Suwarti. Mereka harus berjalan kaki melewati medan yang sangat berat—jalan kabupaten yang hancur, penuh lumpur, licin, dan berlika-liku—sejauh lima kilometer. Perjalanan penuh derita ini berlangsung lambat dan penuh tantangan, setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti perjuangan melawan kegagalan infrastruktur.

Titik akhir dari penderitaan ini adalah ketika mereka berhasil mencapai jalan beraspal yang relatif mulus. Dari sanalah, barulah ambulans yang sudah menunggu dapat mengambil alih dan membawa Suwarti langsung ke RSUD Kaur untuk mendapatkan penanganan medis yang intensif. Perjuangan panjang dan melelahkan ini menunjukkan betapa besar pengorbanan yang harus dilakukan hanya untuk mencapai jalan raya utama.

Bagi warga Desa Tanjung Agung, kisah pilu seperti yang dialami Suwarti ini bukanlah insiden tunggal. Farizal membenarkan, “Sudah sering warga sakit digotong karena jalan yang jelek, mobil tak bisa masuk.”

Ia menerangkan bahwa total panjang jalan kabupaten yang menghubungkan desa mereka dengan dunia luar adalah sekitar 10 kilometer. Tragisnya, dari total jarak tersebut, baru sekitar 4,5 kilometer yang berhasil diaspal pada masa pemerintahan bupati sebelumnya, Lismidianto. Artinya, lebih dari setengah jalur—tepatnya 5,5 kilometer—masih berupa tanah yang rentan menjadi kubangan lumpur, terutama saat musim hujan.

Keadaan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, membuat warga rentan dan terisolasi, terutama dalam kondisi darurat medis.

Melalui Farizal, warga Desa Tanjung Agung menyampaikan permohonan mendesak kepada para pemangku kebijakan. “Kami mengharapkan pemerintah, entah gubernur atau bupati, dapat menuntaskan aspal jalan agar kejadian warga sakit tidak terulang,” harapnya.

Meski harus melewati perjuangan berat di tengah keterbatasan infrastruktur, Farizal juga memberikan apresiasi tinggi untuk pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Ia menuturkan, “Di RSUD Kaur, layanan sangat baik. Pasien yang tidak memiliki BPJS langsung dilayani dengan cukup baik. Rumah sakit bagus, hanya jalan menjadi keluhan kami,” tutupnya.

Kisah Suwarti ini sekali lagi menyorot ironi pembangunan di Indonesia: fasilitas kesehatan mungkin telah memadai, tetapi jika akses menuju ke sana terhambat oleh jalan yang rusak parah, maka kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri menjadi sia-sia. Peristiwa ini adalah alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera memprioritaskan penyelesaian infrastruktur dasar demi menjamin hak setiap warga negara atas kesehatan dan keselamatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup