Jelang HUT TNI ke 80 Koalisi Masyarakat Sipil Sektor Keamanan Mendesak Militer Kembali ke Barak

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi hak asasi manusia melontarkan kritik keras, mendesak militer untuk segera kembali ke fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara dan meninggalkan urusan sipil. Dalam konferensi pers yang mendesak, para aktivis menyoroti kemunduran reformasi sektor keamanan dan maraknya praktik multifungsi TNI serta impunitas di tubuh militer.
Narasumber yang hadir dalam konferensi pers tersebut antara lain Dimas Bagus Arya (KontraS), Zainal Arifin (YLBHI), Batara (Sentra Inisiatif), Anis (Imparsial), dan Hafis (Sentra Inisiatif). Mereka sepakat bahwa momentum HUT ke-80 TNI seharusnya menjadi ajang refleksi kritis, bukan sekadar perayaan, karena cita-cita TNI yang profesional, tunduk pada supremasi sipil, dan bebas kekerasan masih jauh dari harapan publik.
Isu utama yang menjadi sorotan tajam adalah terus berlangsungnya praktik multifungsi TNI, yang dianggap terang-terangan bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi. Praktik ini terlihat jelas dari penempatan prajurit aktif TNI di berbagai lembaga sipil—mulai dari Sekretaris Kabinet (Seskab), Dirut Bulog, hingga posisi Irjen di Kementerian Perhubungan dan Pertanian—padahal jabatan-jabatan tersebut tidak tercantum dalam UU TNI yang berlaku.
“Praktik multifungsi ini bukan hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga destruktif bagi profesionalisme TNI itu sendiri dan membuka ruang lebar bagi penyalahgunaan wewenang serta tindakan represif,” tegas Anis dari Imparsial.
Lebih lanjut, temuan dari KontraS menunjukkan pergeseran fungsi TNI yang kian mengkhawatirkan. Militer kini terlibat dalam implementasi proyek-proyek pemerintah seperti program makan bergizi gratis dan bahkan terlibat dalam penegakan hukum sipil (contohnya penangkapan kasus judi online). Kekhawatiran terbesar adalah pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang dinilai berpotensi kuat menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI di bawah kedok “multifungsi.”
Kemunduran ini diperparah dengan kebijakan kontraproduktif yang justru memperkuat Komando Teritorial (Koter)—warisan Orde Baru yang seharusnya direstrukturisasi. Rencana penambahan hingga enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru disepanjang Indonesia, dari Sumatera hingga Papua, dilihat sebagai upaya memperkuat koter alih-alih fokus pada pertahanan matra. KontraS juga menyoroti rekrutmen 4.000 Tamtama baru untuk Batalion Peternakan, Perikanan, dan Pertanian sebagai perwujudan konsep pertahanan semesta yang diinterpretasikan secara keliru.
Poin krusial lainnya adalah maraknya kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan oknum TNI, namun penyelesaiannya selalu melalui Peradilan Militer yang tertutup dan cenderung menciptakan ruang impunitas.
“Sepanjang Januari hingga September 2025, kami mencatat kasus tindak pidana umum yang mengerikan, mulai dari penembakan warga sipil di Jatiwarna, Aceh, dan Lampung, pembunuhan jurnalis di Banjarbaru, hingga kekerasan internal seperti kematian Prada Lucky Syafril Saputra Namo akibat penyiksaan senior. Namun, peradilan militer terus menghasilkan vonis yang sangat ringan,” ujar Zainal Arifin dari YLBHI.

Ia mencontohkan vonis 2 tahun 6 bulan dalam kasus penembakan anak MAF dan hanya 1 tahun untuk kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Praktik ini secara konsisten mengabaikan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang secara tegas mengamanatkan prajurit TNI diadili melalui peradilan umum untuk tindak pidana umum. Koalisi juga menyoroti lemahnya perspektif gender (gender lens) dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan militer, termasuk kasus femisida dan penyiksaan.
Temuan KontraS juga merinci data kekerasan yang memprihatinkan, mencatat 13 kasus penyiksaan, 35 penganiayaan, dan 11 penembakan (berujung extrajudicial killing) terhadap masyarakat sipil. Kekerasan ini dinilai langgeng karena kultur kekerasan dan kultur impunitas yang belum dibenahi.
Menanggapi kondisi ini, Koalisi HAM mengeluarkan lima tuntutan dan rekomendasi mendesak kepada Pemerintah dan Parlemen:
- Kembalikan Militer ke Barak: Mendesak TNI untuk fokus pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara dan segera meninggalkan ranah sipil, menegakkan kembali Supremasi Sipil tanpa kompromi.
- Akhiri Multifungsi dan Impunitas: Hentikan segala praktik multifungsi TNI dan pastikan akuntabilitas hukum bagi setiap oknum yang terlibat tindak pidana.
- Revisi UU Peradilan Militer: Segera revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk mengimplementasikan Pasal 65 ayat 2 UU TNI secara konsisten, yaitu memastikan prajurit TNI diadili di peradilan umum untuk tindak pidana umum.
- Tolak Kebijakan Kontraproduktif: Batalkan kebijakan yang mengancam supremasi sipil, seperti penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan rencana pembentukan Kodam baru yang menguatkan komando teritorial.
- Tuntaskan Agenda Reformasi: Mendesak penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang melibatkan militer, mengusut tuntas intimidasi terhadap Pembela HAM, dan menuntaskan agenda Reformasi TNI yang belum selesai.
Tuntutan ini menjadi peringatan keras bahwa tanpa komitmen untuk mengakhiri multifungsi dan impunitas, peringatan HUT ke-80 TNI hanyalah ilusi kemajuan di tengah kemunduran reformasi sektor keamanan yang nyata.