KAMAKSI Desak Kejagung Periksa Jusuf Hamka Terkait Dugaan Korupsi Tol Cawang – Pluit

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Kaukus Muda Anti Korupsi (KAMAKSI) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut tuntas dugaan korupsi dalam perpanjangan konsesi Tol Cawang-Pluit yang melibatkan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Kasus ini disinyalir merugikan negara hingga Rp15-20 triliun. Desakan ini muncul setelah anak dari pemilik CMNP, Jusuf Hamka, yaitu Fitria Yusuf, dipanggil oleh Kejagung untuk dimintai keterangan.
Menurut Ketua Umum KAMAKSI, Joko Priyoski, indikasi korupsi ini bermula dari perpanjangan konsesi yang diduga dilakukan tanpa lelang dan audit, melanggar Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014. Lebih lanjut, CMNP juga diduga menunggak denda keterlambatan setoran sebesar Rp320 miliar yang kabarnya tidak pernah ditagih oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
“Kami yakin pihak Kejagung akan menaikkan status dugaan kasus korupsi ini ke tingkat penyidikan. KAMAKSI mendesak Kejagung segera memanggil Jusuf Hamka sebagai pemilik CMNP agar kasus ini diusut terang benderang. Jangan biarkan proyek infrastruktur dikuasai satu pihak tanpa mekanisme kontrol yang transparan,” tegas Joko.
Dugaan kerugian negara muncul karena meskipun konsesi seharusnya telah berakhir, pendapatan dari tol tetap dikelola oleh CMNP. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan telah merekomendasikan pembatalan perpanjangan konsesi ini melalui LHP Nomor 17/LHP/XVII/05/2024.
Selain itu, Joko juga menyoroti kinerja proyek yang dinilai tidak maksimal. Target penyelesaian fisik tol sebesar 100% pada tahun 2022 tidak tercapai, bahkan hingga kini baru mencapai sekitar 30%. Hal ini menjadi bukti lemahnya kontrol terhadap pelaksana proyek tanpa adanya mekanisme kompetisi yang sehat. Atas dasar itu, BPJT dan Kementerian PUPR telah mengambil alih proyek tersebut.
“Pelaksanaan konstruksi Tol Cawang-Pluit dinilai tidak maksimal… Ini bukti bahwa tanpa mekanisme kompetisi yang sehat, kontrol terhadap pelaksana proyek jadi lemah dan tidak transparan hingga merugikan kepentingan publik,” pungkas Joko.