JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Babak akhir persidangan gugatan terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) bagi PT Manado Utara Perkasa (PT. MUP) akan segera diputuskan. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dijadwalkan akan membacakan putusannya secara daring pada 05 Agustus 2025, menjadi penentu nasib reklamasi Teluk Manado yang sejak awal menuai polemik.
Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. ini menyoroti penerbitan PKKPRL Nomor: 20062210517100001 tertanggal 17 Juni 2022. Dalam kasus ini, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia bertindak sebagai tergugat utama, sementara PT. MUP mengajukan diri sebagai tergugat intervensi. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang bersatu dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK), menjadi pihak penggugat yang gigih menyuarakan keresahan masyarakat.
Cacat Prosedur dan Ancaman Terhadap Hak Nelayan
Menurut Judianto Simanjuntak, kuasa hukum penggugat dari TAPaK, selama persidangan pihaknya telah berhasil membuktikan bahwa penerbitan PKKPRL untuk PT. MUP cacat secara formil dan materiil. Poin krusial yang diungkap adalah minimnya partisipasi masyarakat secara bermakna (Meaningful Participation), khususnya bagi warga pesisir dan pulau kecil yang terdampak langsung.
“Keterangan saksi-saksi dan surat penolakan dari warga menunjukkan jelas bahwa terbitnya PKKPRL ini bertentangan dengan asas peran serta masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” terang Judianto. Ia menambahkan, ahli hukum lingkungan Bono Priambodo, S.H., M.Sc., dalam kesaksiannya menekankan bahwa partisipasi bermakna harus bebas paksaan dan dilakukan pada tahap perencanaan awal proyek.
Judianto juga menggarisbawahi dampak serius dari reklamasi ini terhadap nelayan. Jika proyek berjalan, nelayan terancam kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan mata pencarian, mengingat Teluk Manado merupakan jantung kehidupan bagi mereka. Hal ini jelas mengabaikan perlindungan nelayan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Kerusakan Ekologis Tak Terhindarkan dan Kecerobohan Pemerintah
Ancaman terhadap lingkungan hidup di Pesisir Pantai Manado Utara juga menjadi sorotan tajam dari Mulya Sarmono, kuasa hukum TAPaK lainnya. Ia menegaskan bahwa penerbitan objek sengketa ini tidak didasarkan pada pertimbangan cermat terhadap asas kehati-hatian (precautionary principle) dalam pengelolaan lingkungan.
Prof. Dr. Ir. Rignolda Djamaluddin, M.Si., ahli kelautan yang dihadirkan dalam persidangan, mengungkapkan kekhawatiran serius. “Secara alami pantai kita itu adalah pantai berpasir. Kalau kita memasukkan konstruksi ke laut, akan menyebabkan gelombang yang akan mengangkut sedimen ke area pesisir. Pastinya akan menciptakan suatu proses dinamika yang lain,” jelasnya. Penelitiannya bahkan mengindikasikan bahwa reklamasi dapat menghilangkan terumbu karang secara permanen dan berdampak signifikan pada Taman Nasional Bunaken yang berdekatan.
Pendapat tertulis dari Prof. Dr. Ir. Silvester B. Pratasik M.Sc., dosen dari Universitas Sam Ratulangi Manado, yang diajukan sebagai bukti, turut menguatkan kekhawatiran ini. Ia menegaskan bahwa reklamasi di Pantai Manado Utara akan merusak ekosistem pantai yang vital (mangrove, estuari, dan karang) sebagai dasar kehidupan organisme laut.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, dengan tegas menyatakan bahwa penerbitan PKKPRL ini merupakan kecerebohan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM beserta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia menyoroti fakta bahwa wilayah objek sengketa merupakan kawasan rawan banjir, yang seharusnya menjadi pertimbangan krusial. “Jika reklamasi dilakukan, banjir akan semakin lama surut karena larian air (water run-off) akan semakin jauh untuk masuk ke laut,” ujarnya. Susan menambahkan, proyek ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Konstitusi terkait keberlanjutan ekosistem pesisir.
Jeritan Nelayan dan Harapan Keadilan
Vekky Hamada Caroles, seorang nelayan dari Manado Utara, mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam. “Teluk Manado adalah sumber kehidupan kami. Keputusan pemerintah ini akan menghilangkan mata pencarian kami,” tuturnya. Vekky bahkan melaporkan bahwa warga telah merasakan dampaknya, meskipun reklamasi belum dimulai, dengan adanya pembatasan akses laut akibat pemasangan pagar pantai di Kelurahan Bitung Karangria sejak 05 September 2024.
Mengingat segala bukti dan dampak yang telah disajikan, kuasa hukum para penggugat menaruh harapan besar kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta untuk mengambil keputusan yang berpihak pada keadilan bagi masyarakat pesisir Manado Utara. Mereka menuntut:
- Pengabulan seluruh gugatan para penggugat.
- Pembatalan atau dinyatakan tidak sahnya Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 20062210517100001 tentang PKKPRL kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022.
- Kewajiban kepada Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mencabut keputusan tersebut.
Senada dengan itu, Vekky Hamada Caroles dan Susan Herawati juga menyerukan agar Majelis Hakim PTUN Jakarta memberikan putusan yang adil demi keselamatan dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir Manado Utara.