Menjelang Natal, Ratusan Pekerja Sawit di Papua Barat Daya Terancam Tanpa THR

SORONG, JEJAKPOS.ID – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Pejuang Lintas Katulistiwa (SP Pelika) Kabupaten Sorong, yang juga merangkap Direktur Nusantara Utama Law Firm, hari ini menyampaikan pernyataan pers yang tegas dan emosional. Pernyataan ini menyoroti dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan secara serius yang dilakukan oleh salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Kabupaten Sorong.
Dalam suasana menjelang perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Ketua DPD SP Pelika menyatakan kekecewaannya karena ratusan pekerja di bawah binaan mereka menghadapi masalah krusial: tidak dibayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan.
Menurut Ketua SP Pelika, dasar hukum serikat mereka jelas karena terdaftar resmi di Kementerian Hukum dan HAM serta diakui oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan pemerintah daerah Sorong. Fokus utama keluhan adalah pada para pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang masa kerjanya bervariasi.
Ia menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016, setiap pekerja berhak mendapatkan THR keagamaan, dan perusahaan wajib membayarkannya selambat-lambatnya satu minggu sebelum hari raya. Namun, manajemen perusahaan sawit tersebut berdalih dan menolak membagikan THR, meskipun gaji pekerja telah dibayarkan.
“Manajemen perusahaan seakan-akan menggunakan aturan perusahaan dan mengesampingkan yang namanya aturan Undang-Undang Cipta Kerja atau undang-undang ketenagakerjaan,” tegas Ketua SP Pelika dalam pernyataannya.
Ini bukanlah kali pertama perusahaan tersebut berhadapan dengan masalah ketenagakerjaan. Ketua SP Pelika mengungkapkan bahwa banyak persoalan yang terjadi, mulai dari masalah pengupahan hingga perekrutan tenaga kerja. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa para putra-putri daerah asli Papua yang bekerja di sana diperlakukan tidak adil dan mengalami diskriminasi.
Bahkan, terdapat kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, serta pembaruan kontrak yang dilakukan tanpa disertai pemberian THR.
Mengingat kondisi ini, Ketua DPD SP Pelika mengingatkan bahwa perusahaan sawit tersebut bukan perusahaan musiman, melainkan berproduksi setiap hari. Ia juga menyinggung upaya sebelumnya:
• Demonstrasi dan Tripartit Gagal: Pada November 2024, serikat ini pernah melakukan demonstrasi dan berdialog di kantor gubernur, yang difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja untuk upaya Tripartit.
• Kesepakatan Diabaikan: Sayangnya, kesepakatan Tripartit yang ditandatangani di atas meterai dan diketahui oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja, Energi, dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Barat Daya, tidak diindahkan oleh pihak manajemen perusahaan.
Merespons pelanggaran berulang yang terjadi, Ketua SP Pelika menyampaikan tuntutan keras kepada seluruh pemangku kepentingan di Provinsi Papua Barat Daya:
• Pemerintah Daerah: Mendesak Gubernur, Bupati Sorong, Dinas Tenaga Kerja Provinsi, dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sorong.
• Lembaga Legislatif: Menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat Daya.
Ia menyerukan agar pihak-pihak tersebut segera membentuk Tim Investigasi. Tim ini bertugas meninjau kembali seluruh perusahaan yang beroperasi di Provinsi Papua Barat Daya, terutama perusahaan kelapa sawit yang terbukti banyak bermasalah.
Ketua SP Pelika, sebagai aktivis hukum dan HAM sekaligus direktur firma hukum, mempertegas komitmennya untuk melawan sistem yang mendiskriminasi dunia kerja dan melawan ketentuan undang-undang.
“Ini negara hukum. Jangan coba-coba menggunakan ruang-ruang kapitalis untuk kemudian menindas para pekerja buruh,” tegasnya.
Ia juga secara khusus menyampaikan pesan kepada Direktur Utama, General Manager, HRD, dan seluruh manajemen perusahaan, bahwa SP Pelika akan mengambil upaya hukum hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial. Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan bagi ratusan, bahkan ribuan, pekerja yang telah didiskriminasi dan dirugikan hak-haknya, termasuk THR.
Pernyataan ditutup dengan seruan semangat, menekankan bahwa pemerintah tidak boleh diam terhadap persoalan ini, sebab para pekerja tersebut adalah anak negeri yang berhak mendapatkan perlakuan adil di tanah mereka sendiri.














