Menolak ‘Jenderal Abadi’, Tim Advokasi Supremasi Sipil Gugat UU TNI di MK

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Menjelang sidang keempat di Mahkamah Konstitusi (MK), Tim Advokasi Supremasi Sipil kembali menegaskan urgensi gugatan terhadap Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU TNI. Tim ini menyebut pasal kontroversial tersebut sebagai “Ancaman Baru terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi Konstitusional”.

Gugatan ini, yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025, secara spesifik menyasar norma yang membuka peluang perwira tinggi berpangkat Jenderal Bintang Empat untuk memperpanjang masa dinas tanpa batas waktu yang jelas. Menurut Koordinator Tim Advokasi Supremasi Sipil, Tri Prasetio Putra Mumpuni, gugatan ini lebih dari sekadar urusan administratif hukum, melainkan perjuangan fundamental untuk mempertahankan prinsip republik: tidak boleh ada kekuasaan yang abadi, jabatan yang absolut, dan seragam yang berdiri di atas konstitusi.

Tim Advokasi Supremasi Sipil berpendapat bahwa pasal tersebut secara substansial menabrak asas kesetaraan di hadapan hukum dan kepastian hukum yang adil yang dijamin UUD 1945.

“Norma ini membuka jalan bagi kembalinya logika kekuasaan yang pernah menindas republik,” ujar tim advokasi dalam rilis persnya. Mereka memperingatkan bahwa jika dibiarkan, ketentuan ini akan mengubah TNI dari institusi pertahanan menjadi “entitas politik otonom yang berdiri di luar mekanisme kontrol sipil”.

Lebih jauh, tim ini menilai perpanjangan masa dinas tanpa batas adalah perobohan pagar konstitusional yang selama ini mencegah konsentrasi kekuasaan. Hal ini dikhawatirkan dapat melahirkan “legal militarism”—sebuah bentuk militerisme baru yang tidak muncul melalui kudeta bersenjata, melainkan dilegalkan melalui regulasi. Mereka menyebutnya sebagai “kudeta konstitusional yang diam-diam” menegaskan kembalinya bayang-bayang militerisme di dalam tubuh hukum.

Kekhawatiran terhadap bangkitnya militerisme juga didasarkan pada kecenderungan terkini di mana figur-figur militer aktif kembali menempati posisi strategis dalam birokrasi, politik elektoral, hingga pengawasan ruang siber.

Dengan dalih Operasi Militer Selain Perang (OMSP), militer kini dinilai turut campur dalam isu-isu sipil, termasuk keamanan digital dan ruang ekspresi warga negara. Jika posisi militer tidak dibatasi waktu dan tidak diawasi secara efektif, maka prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, privasi, dan supremasi sipil berada dalam ancaman serius.

Sidang keempat yang akan mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden disebut sebagai momentum krusial untuk menguji komitmen cabang-cabang kekuasaan negara terhadap demokrasi konstitusional. Tim Advokasi Supremasi Sipil menyerukan agar DPR dan Presiden memilih untuk membela prinsip republik yang menempatkan militer di bawah kendali sipil, bukan menormalisasi gagasan loyalitas personal dan kontinuitas kekuasaan.

“Jika cabang-cabang kekuasaan sipil memilih untuk diam, maka sejarah akan mencatat bahwa demokrasi sekali lagi dikhianati bukan oleh senjata, melainkan oleh tanda tangan di atas kertas,” tutup rilis pers tersebut.

Tim ini pun mengajak akademisi, mahasiswa, dan masyarakat luas untuk terus mengawal proses persidangan di MK, menegaskan bahwa supremasi sipil adalah urusan semua warga negara.

“Tidak ada alasan yang dapat membenarkan kekuasaan tanpa batas. Tidak ada jabatan yang boleh abadi di republik ini. Tidak ada panglima seumur hidup,” tegas Tim Advokasi Supremasi Sipil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup