Penyisiran Gunung Botak Picu Ketegangan: Masyarakat Protes, Pemerintah dan Koperasi Tegaskan Penataan Tambang Perlu Dilakukan

KABUPATEN BURU, JEJAKPOS.ID — Kawasan tambang emas Gunung Botak, Kabupaten Buru, kembali memanas. Aksi penyisiran mendadak yang dilakukan aparat untuk menertibkan aktivitas penambangan tanpa izin (illegal mining) sejak subuh tadi, Jumat, 5 Desember 2025, langsung memicu ketegangan sosial dan protes keras dari ratusan warga.
Massa yang didominasi penambang lokal berkumpul di jalur masuk tambang, menuding tindakan aparat terlalu tiba-tiba dan dilakukan tanpa didahului dialog yang memadai. Mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa penyisiran ini akan memutus total sumber nafkah ribuan keluarga yang selama ini bergantung pada hasil tambang.
“Sejak subuh, puluhan hingga ratusan warga mulai berkumpul di jalur masuk tambang, menyuarakan kegelisahan mereka. Banyak di antara mereka menganggap bahwa penyisiran ini berpotensi memutus sumber nafkah yang selama ini menjadi tumpuan hidup ribuan keluarga.”
Di sisi yang berseberangan, Pemerintah Daerah dan pihak keamanan berdalih bahwa operasi ini adalah langkah mendesak untuk menekan aktivitas ilegal yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan parah, konflik antarpenambang, dan meningkatnya risiko kecelakaan kerja. Pemerintah menegaskan, penertiban ini merupakan bagian integral dari rencana jangka panjang untuk mengatur kembali sistem pertambangan di Gunung Botak agar lebih tertib dan berkelanjutan.
Bersamaan dengan operasi penyisiran, isu utama yang memecah opini publik adalah rencana masuknya 10 koperasi resmi yang disebut akan mengambil alih pengelolaan tambang. Pemerintah mengklaim koperasi-koperasi ini telah memenuhi semua proses administrasi dan teknis, siap menawarkan pola pertambangan yang lebih aman, legal, dan ramah lingkungan.
Pihak koperasi optimis bahwa model ini akan menghilangkan dominasi cukong-cukong tambang, mengurangi praktik liar, dan memberikan kepastian kerja bagi penambang lokal melalui skema bagi hasil yang diklaim lebih transparan.
Namun, klaim tersebut disambut skeptis oleh sebagian besar warga. Para penambang mengaku belum mendapatkan penjelasan detail mengenai perizinan lahan, mekanisme kerja koperasi, sistem bagi hasil, serta sejauh mana keterlibatan masyarakat lokal dalam struktur organisasi koperasi.
Ketidakpastian ini memicu kekhawatiran bahwa alih-alih ditertibkan, masyarakat justru akan tersisih dan kehilangan akses ke wilayah tambang yang selama ini mereka kelola secara turun-temurun.
Mahasiswa asal Batabual, Rafik Dasuki, yang turut hadir di lokasi, mendesak pemerintah untuk mengambil jalan tengah. “Jangan sampai kebijakan ini justru membuka ruang konflik baru. Gunung Botak bukan hanya soal emas, tapi soal kehidupan. Pemerintah harus hadir sebagai penyeimbang, bukan pemicu ketegangan,” tegasnya.
Rafik juga menyoroti perlunya transparansi data dan kejelasan perizinan. “Keterbukaan informasi adalah kunci. Selama itu belum ada, masyarakat akan terus merasa diabaikan,” tambahnya.
Meski situasi di lapangan hari ini terasa sangat tegang dengan kehadiran aparat dan kelompok masyarakat, banyak pihak berharap proses dialog yang inklusif dapat segera dibuka sebagai solusi yang menenangkan semua pihak.
Publik kini menanti langkah lanjutan pemerintah: apakah operasi penertiban akan terus dilanjutkan, ataukah pemerintah akan membuka ruang negosiasi yang melibatkan semua pihak terdampak. Yang pasti, dinamika sosial dan kebijakan di Gunung Botak kini menjadi sorotan utama.














