Said Didu Ledakkan Tesis ‘Serahkanomi’, Gen Z dan Papua Serukan Perlawanan.

PAMULANG, JEJAKPOS.ID – Suasana akademik di Plaza Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada Selasa (18/11/2025) sore, berubah menjadi arena konfrontasi intelektual. Dalam forum Mimbar Bebas bertajuk “Menagih Janji Perubahan, Menolak Dominasi Oligarki,” para tokoh kunci bangsa berkumpul untuk mendefinisikan dan mengkritik krisis politik dan ekonomi di Indonesia.

Acara yang menghadirkan Dr. Muhammad Said Didu, Abraham Samad (Mantan Ketua KPK), Mayjen TNI (Purn.) Soenarko, dan perwakilan suara Generasi Z serta Papua ini, menegaskan bahwa mahasiswa harus kembali menjadi motor perubahan.

Dr. Muhammad Said Didu memicu perdebatan dengan meluncurkan tesis kontroversialnya: Indonesia kini terperosok dalam jerat “serahkanomi.” Istilah ini ia gunakan untuk menggambarkan penyerahan kekuasaan (politik) dan sumber daya (ekonomi) secara total kepada kelompok oligarki.

Said Didu mengkritik pedas kegagalan Reformasi 1998 yang, menurutnya, justru memperkuat oligarki. “Dengan menguasai ekonomi, oligarki kini mampu membeli ketua partai politik, partai itu sendiri, hingga aparat hukum,” tegasnya.

Ia bahkan menunjuk kolusi telah merasuk hingga ke kampus, menyayangkan adanya rektor yang rela mengubah status demi menjadi komisaris BUMN. Said Didu menyerukan agar perlawanan terhadap serahkanomi harus menjadi agenda utama dan satu-satunya fokus pergerakan mahasiswa, berjanji akan berhenti bersuara keras jika kampus telah bangkit.

Keresahan generasi dan wilayah yang termarjinalkan menjadi inti seruan. Fahri, perwakilan Generasi Z, menolak stigma lemah. Ia menuduh negara berperan dalam memiskinkan dan membodohkan Gen Z, seraya membebani mereka dengan cita-cita Indonesia Emas 2045. Fahri menilai visi-misi bangsa saat ini seolah mengarah pada slogan satir “Teruslah Bodoh Jangan Pintar.”

Kritik diperkuat oleh perwakilan Mahasiswa Papua Pegunungan, yang menyebut serahkanomi membawa bencana di Timur.

“Di Papua, oligarki masuk dengan dalih pembangunan selama puluhan tahun, namun faktanya hari ini, masyarakat termiskin nomor satu ada di Papua Pegunungan,” ungkapnya.

Ia menyoroti pembangunan yang tidak merata dan eksploitasi sumber daya dengan janji kesejahteraan palsu, mendesak agar suara ketidakadilan Papua didengar oleh mahasiswa di Barat.

Para tokoh senior memberikan dukungan penuh dan peringatan keras. Mayjen TNI (Purn.) Soenarko dan Prof. Dr. Sri Yunanto sepakat bahwa pemimpin yang buruk cenderung membiarkan rakyat bodoh dan miskin agar gampang diatur dan dibeli, mendesak mahasiswa mencontoh semangat 1966 dan 1998.

Abraham Samad dan Ustd. Eka Jaya mendesak mahasiswa untuk kembali kepada jati diri mereka sebagai agent of change, berani bersuara dan tidak hanya fokus pada ijazah.

Menutup mimbar bebas, Menuk Wulandari dan Marwan Batubara memperingatkan bahwa jika pemuda diam, di masa depan mereka berpotensi menjadi “jongos di negeri sendiri” karena sumber daya telah diambil alih dan Tenaga Kerja Asing (TKA) mendominasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup