Solidaritas Lawan Kriminalisasi: Aksi Damai Tolak Penangkapan Masyarakat Adat Maba Sangaji di Mabes POLRI

Avatar photo
Massa Aksi Solidaritas Lawan Kriminalisasi melakukan unjurasa di Mabes Polri | Foto : Ayu

JAKARTA, JEJAKPOS.IDSolidaritas Lawan Kriminalisasi (SOLASI) menggelar aksi solidaritas di depan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes POLRI), Kamis, 22 Mei 2025. Aksi ini menuntut pembebasan 11 masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang ditangkap dan ditahan oleh Polda Maluku Utara tanpa akses hukum yang jelas. Puluhan massa aksi bergantian berorasi menyuarakan keresahan mereka terkait kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan yang menolak aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position, anak perusahaan PT Harum Energy Tbk.

Latar Belakang

Penambangan nikel di Desa Maba Sangaji, Halmahera Timur, telah menimbulkan kerusakan lingkungan serius sejak PT Position mulai beroperasi pada tahun 2024. Dengan konsesi tambang seluas 4.017 hektare, aktivitas perusahaan ini telah mencemari sungai-sungai vital seperti Kaplo, Tutungan, Semlowos, Sabaino, Miyen, dan Sungai Sangaji. Pencemaran ini menyebabkan penurunan kualitas air, perubahan debit sungai, dan bencana ekologis berupa banjir bandang yang merusak rumah, perkebunan, dan fasilitas umum. Hutan adat yang menjadi sumber pangan dan ruang hidup masyarakat pun hancur, mengancam mata pencaharian warga.

Kronologi Aksi Solidaritas

Pada 15 Mei 2025, masyarakat adat Maba Sangaji menggelar aksi damai menolak pertambangan nikel yang merusak lingkungan mereka. Namun, respons aparat negara sangat represif dengan menangkap 27 warga, dan menetapkan 11 di antaranya sebagai tersangka. Sebagai bentuk solidaritas, pada 22 Mei 2025, SOLASI mengadakan aksi di depan Mabes POLRI mulai pukul 09.30 hingga 12.30 WIB. Massa aksi menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap 11 masyarakat adat tersebut. Aksi berlangsung damai meskipun pengamanan polisi jauh lebih banyak dan aparat sempat memaksa memindahkan titik aksi.

Penangkapan masyarakat adat ini bertentangan dengan hak-hak mereka dan berpotensi melanggar Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023. UU ini mengatur bahwa siapa pun yang merusak ekosistem sungai, mencemari air, atau menyebabkan bencana ekologis dapat dikenakan sanksi pidana hingga 18 bulan penjara dan denda hingga Rp3 miliar. Namun, dalam kasus ini, masyarakat adat yang justru berjuang menjaga lingkungan malah dikriminalisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *