Jakarta, Jejakpos.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bicara soal kondisi utang pemerintah yang senilai Rp8.338,43 triliun dinilai masih cukup aman dan dapat dikelola dengan baik. Mayoritas utang itu berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah dan memiliki jatuh tempo yang cukup lama.
“SBN itu 87,9% dari total utang pemerintah dibandingkan pinjaman yang hanya 12,1%. Dalam hal ini, makanya kalau kita menggunakan SBN, dia tidak salah-salah amat,” ucapnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
“Karena memang dia adalah mayoritas dari instrumen utang kita. Kalau kita breakdown dari denominasinya, maka yang rupiah itu 70,7%, sedangkan yang valas itu 17,2%,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan tercatat senilai Rp5.935,24 triliun, porsi utang berdenominasi rupiah dan Rp1.713,26 triliun porsi utang berdenominasi dolar Amerika Serikat senilai serta Rp689,93 triliun merupakan utang berdenominasi valuta asing lainnya.
Jatuh tempo bukan merupakan hal yang sangat dikhawatirkan bagi pengelolaan keuangan negara, karena mayoritas utang berasal dari SBN yang berdenominasi rupiah, jelas Sri Mulyani.
Hal ini berlaku selama kondisi ekonomi, stabilitas politik, dan keberlanjutan fiskal di Indonesia dalam kondisi yang cukup baik.
“Jadi kalau negara ini tetap kredibel, APBN baik, kondisi ekonomi baik, kondisi politik stabil, maka revolving itu sudah dipastikan risikonya kecil,” jelas Sri Mulyani.
“Karena market beranggapan negara ini akan tetap sama, sehingga jatuh tempo itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi, dan politik tetap sama,” sambungnya.
Posisi utang yang terbilang baik juga tercermin dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Per April 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB tercatat 36,5%, atau Rp8.338 triliun dari PDB yang nilainya mencapai Rp22.830 triliun.
Adapun rasio utang yang berasal dari SBN terhadap PDB mencapai 32,1%. Sementara rasio utang yang berasal dari pinjaman sebesar 4,4% terhadap PDB. Namun besarnya porsi SBN dalam utang itu juga diakui Ani tak sepenuhnya aman.
Sebab, ada potensi risiko kenaikan beban bunga (imbal hasil/yield) yang harus dibayar jika terjadi gemparan ekonomi, baik dari dalam maupun luar negeri. “Yang perlu kita lihat tentu dan harus terus dikelola adalah interest rate, mengenai beban bunga yang masuk dalam APBN kita. Instrumen kita, kita coba untuk supaya beban interest rate kita itu tetap terkendali. Namun higher for longer kena juga ke Indonesia,” ujarnya.
“Kami juga memahami koordinasi moneter dan fiskal itu menjadi sangat penting. Makanya antara Thamrin dan Lapangan Banteng itu harus kompak. Karena mengelola stabilitas makro dan neraca BI maupun pemerintah itu harus sama-sama. Karena dolar AS melonjak tinggi, makanya BI lakukan beberapa langkah, dan kami tahu itu akan dilakukan, maka kami terus berkomunikasi,” ucapnya.