TAUD Soroti Pelanggaran Konstitusi dan Kriminalisasi Aktivis Jelang Putusan Praperadilan

JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menggelar konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (26/10/2025), dengan mengangkat tema tajam: “Kesimpulan Praperadilan Tahanan Politik: Upaya Paksa yang Sewenang-wenang, Membangkang Putusan Mahkamah Konstitusi, sekaligus Tanpa Alat Bukti.”
Gema Gita Persada dari LBH Pers menyebut benang merah seluruh kasus ini adalah adanya pelanggaran serius dalam upaya paksa oleh Polda Metro Jaya, mulai dari penyitaan barang bukti, penetapan tersangka, hingga penggunaan keterangan ahli.
Penyitaan Barang Bukti dan Pelanggaran Prosedur Mendasar
Dalam kasus Khariq Anhar, LBH Pers menyoroti penyitaan barang bukti elektronik yang tidak sah. Gema Gita Persada menjelaskan bahwa penyitaan dilakukan tanpa surat perintah atau izin Ketua Pengadilan Negeri, padahal kondisi kasus tersebut tidak termasuk kategori mendesak seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT).
“Penyidik beralasan penyitaan bisa dilakukan duluan baru dilaporkan, namun praktik ini hanya sah untuk kasus mendesak. Khariq sudah ditangkap, barang bukti sudah dikuasai, seharusnya izin pengadilan diperoleh dulu,” tegas Gema.
Selain itu, tim advokasi menyoroti ketiadaan uji laboratorium forensik terhadap barang bukti elektronik yang disita. Hal ini dinilai membuat barang bukti tersebut cacat hukum karena rawan manipulasi.
Kriminalisasi dan Pembangkangan terhadap Putusan MK
Julianto, Penanggung Jawab Kasus Khariq Anhar, memaparkan indikasi kriminalisasi terhadap kliennya yang kini ditetapkan sebagai tersangka di dua direktorat (Siber dan Kriminal Umum) dengan pasal-pasal yang dinilai dipaksakan, termasuk Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Hal serupa disampaikan Yubi Harahap, Penanggung Jawab Kasus Delpedro. Ia menyebut penetapan tersangka Delpedro cacat hukum karena hanya didasarkan pada keterangan saksi dan ahli yang lemah. Dari 22 saksi yang diperiksa, hanya dua saksi dewasa yang berasal dari internal kepolisian, dan tidak satu pun saksi melihat langsung Delpedro melakukan tindak pidana.
“Penetapan tersangka hanya sehari setelah LP dibuat. Prosedur ini jelas membangkang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mewajibkan seseorang diperiksa sebagai calon tersangka sebelum ditetapkan, untuk mencegah kriminalisasi,” ujar Yubi.
Aisyah Amanda dari LBH Masyarakat juga menyoroti pelanggaran dalam kasus Syahdan. Ia menemukan penetapan tersangka dilakukan tanpa pemeriksaan awal, serta pemeriksaan saksi anak yang dilakukan tanpa pendampingan hukum dan di luar waktu yang wajar (pukul 23.00 malam), yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kejanggalan Proses dan Tekanan terhadap Keluarga
Muhammad Nabil (LBH Jakarta), Penanggung Jawab Kasus Muzaffar, menemukan kekosongan data dan inkonsistensi administrasi dalam dokumen penangkapan, serta penyitaan ponsel tanpa izin pengadilan.
Sementara itu, perwakilan keluarga menyampaikan testimoni emosional mengenai tekanan yang dialami. Iwan Setiawan (Orang Tua Delpedro), mengaku telah kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan politik. Ia meyakini kasus anaknya bernuansa politik dan menyerukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang menghilangkan nilai kemanusiaan. Muhammad Tisar (Kakak Muzaffar) menyatakan keluarga terpukul karena proses hukum yang tertutup, tanpa informasi yang jelas, dan adanya dugaan intimidasi berupa telepon tak dikenal. Sizigia Pikhansa (Kakak Syahdan) mengalami peningkatan intimidasi psikologis, mulai dari penyebaran identitas pribadi, kiriman paket COD misterius, hingga munculnya akun media sosial palsu anak Syahdan, yang membuat keluarga merasa tidak aman.
TAUD menilai seluruh rangkaian pelanggaran ini menunjukkan adanya upaya memaksakan penetapan tersangka dan menjadikan para aktivis sebagai kambing hitam atas peristiwa kerusuhan, serta mencerminkan preseden berbahaya bagi praktik penegakan hukum di Indonesia.














