Urgensi Pengesahan RKUHP Baru, Menghapus Warisan Kolonial dan Menjamin Keadilan Digital.

JAKARTA,JEJAKPOS.ID – Indonesia menghadapi batas waktu kritis jelang implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang dijadwalkan berlaku pada 2 Januari 2026. Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan seluruh sistem peradilan pidana nasional dari kekosongan landasan hukum yang sah.
Tanpa KUHP baru, Indonesia terpaksa masih menggunakan warisan hukum Belanda yang telah berusia lebih dari seabad. Hukum pidana lama ini dinilai tidak lagi selaras dengan realitas zaman digital, tantangan kejahatan korporasi modern, serta nilai-nilai keadilan restoratif yang kini diusung oleh pemerintah.
Pengesahan RKUHP menjadi krusial untuk legitimasi penegakan hukum. Beberapa ketentuan penting dalam KUHP lama, seperti dasar hukum penahanan, akan kehilangan legitimasi ketika KUHP baru mulai berlaku. Tanpa RKUHP yang disahkan, aparat penegak hukum akan beroperasi di zona abu-abu, yang berisiko tinggi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengikis prinsip keadilan restoratif.
Pakar hukum, Farhan Tukmuli, menyoroti bahwa KUHP yang masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memiliki ketidakjelasan prosedur yang berbahaya, terutama terkait hak tersangka:
Jangka Waktu Penahanan Tanpa Batas Jelas: KUHAP lama hanya menyebutkan penahanan dapat diperpanjang tanpa batas maksimal yang tegas. Hal ini memberi ruang kepada penyidik untuk menahan tersangka lebih lama daripada yang diperlukan, bertentangan dengan prinsip proporsionalitas.
Prosedur Penetapan yang Non-Transparan: Keputusan penahanan sering kali dibuat secara administratif tanpa melibatkan hakim atau mekanisme pengawasan eksternal, membuka peluang penahanan sewenang-wenang.
RKUHP baru hadir sebagai solusi untuk modernisasi dan penegasan prinsip keadilan.
1. Kepastian untuk Hak Tersangka: RKUHP baru memperjelas syarat-syarat penahanan, hak atas pembelaan, serta prosedur praperadilan, memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi tersangka. Secara spesifik, RKUHP menetapkan batas maksimal 30 hari untuk penahanan pertama, yang dapat diperpanjang paling lama 30 hari lagi dengan persetujuan hakim. Selain itu, setiap penahanan harus diajukan ke hakim dalam 24 jam untuk memperoleh perintah tertulis, serta menjamin hak tersangka untuk mendapatkan advokat sejak awal penyelidikan.
2. Penguatan Bukti Digital: KUHP lama tidak mengakui bukti elektronik secara khusus, menghambat proses hukum. RKUHP baru secara eksplisit mengakui bukti elektronik (CCTV, data digital) sebagai alat bukti yang sah. Aturan rinci ini mengatur prosedur pengambilan, penyimpanan, dan verifikasi data digital, menutup celah yang selama ini membuat proses hukum terhambat dan melanggar privasi.
3. Keadilan Restoratif dan Korporasi: RKUHP ini secara konsisten menegaskan prinsip keadilan restoratif mulai dari penyidikan hingga pemasyarakatan, memberi peluang penyelesaian perkara di luar pengadilan. Selain itu, RKUHP menambah bab khusus tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, sesuatu yang absen di KUHP lama.
Farhan Tukmuli berharap, dengan aturan yang tertulis secara rinci dan panduan yang jelas, aparat penegak hukum akan mengurangi keputusan yang sembarangan dan kesewenang-wenangan, serta menegakkan hak asasi manusia secara konsisten. RUU ini juga menegaskan prinsip keadilan serta melindungi kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, dan anak.














