DPR: Tradisi Bullying Dokter Residensi Harus Disetop, Pecat Pelaku Kalau Terbukti!

Avatar photo
Anggota Komisi IX Arzeti Bilbina

Jakarta, Jejakpos.id – Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk segera mengambil langkah komprehensif untuk menghentikan praktik  bullying pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang tengah menjadi perhatian. Terutama setelah ada kasus kematian dokter peserta PPDS dari jurusan spesialis Anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip), Semarang.

“Tindakan bullying adalah peristiwa yang sangat tragis dan menyedihkan. Jangan sampai ada pembiaran bullying di lingkungan pendidikan. Harus segera dihentikan dengan putus mata rantainya,” kata Arzeti Bilbina, Senin (19/8/2024). 

Diketahui, dr Aulia Risma Lestari mahasiswi Kedokteran Undip ditemukan tewas di kamar kosnya di Lempongsari, Kota Semarang. Awalnya, dr. Aulia diduga mengakhiri hidupnya dengan cara menyuntikkan obat penenang karena tidak kuat terhadap bullying dari dokter seniornya.

Belakangan, pihak keluarga membantah dr Aulia bunuh diri. Korban disebut memiliki riwayat sakit syaraf kejepit sehingga diduga dr Aulia menyuntikkan sendiri obat anestesi dengan dosis berlebih saat merasa sakit.

Disamping itu, curhatan dr Aulia melalui buku harian yang ditemukan di kamar kosnya membuka tabir pembullyan dari seniornya. Akibat kasus tersebut, Kemenkes dengan tegas memberikan perintah memberhentikan sementara program anestesi FK Undip untuk melakukan investigasi terkait kasus bunuh diri peserta didik PPDS ini.

Arzeti mendukung langkah Kemenkes, apalagi masalah perundungan di lingkungan PPDS memang sudah menjadi momok dalam dunia pendidikan kedokteran Tanah Air. Seperti dr Aulia yang dalam buku hariannya menceritakan tidak kuat menahan tekanan dari para dokter senior.

Ramai di media sosial kisah-kisah yang membongkar kasus perundungan yang ada di PPDS, mulai dari disuruh beli makan senior, hukuman fisik hingga ada ‘jatah istri residen’ kepada senior. Ada pula laporan peserta PPDS atau residen spesialis yang harus mengakomodir biaya pesta maupun perjalanan senior dengan pesawat hingga seratusan juta.

Media sosial juga dihebohkan terkait adanya temuan buku pedoman bullying. Pada buku tersebut mencantumkan sejumlah aturan tata krama junior, serta tugas-tugas apa saja yang tidak boleh dilewatkan selama PPDS berlangsung.

“Penting bagi Pemerintah bekerjasama dengan pihak berwajib seperti kepolisian  untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mencegah bullying. Kita harus kuat untuk memberikan informasi agar pelaku betul-betul diberikan efek jera,” ujar Arzeti. 

Meski pihak Universitas Diponegoro membantah tindakan bullying menjadi alasan utama peserta didik PPDS tersebut bunuh diri, masalah perundungan memang menjadi perhatian Kemenkes karena Kemenkes telah menerima lebih dari seratus laporan terkait perundungan. Laporan-laporan ini berdatangan sejak adanya regulasi anti perundungan PPDS berlaku.

Putuskan Rantai Bullying

Harapan Arzeti Pemerintah segera melakukan evaluasi internal mulai dari sistem pendidikan hingga mengetahui asal mula bullying itu terjadi. Karena dengan melakukan analisis dari hulu ke hilir, pemutusan rantai bullying bisa dilakukan secara optimal, karena masalah tersebut bisa memberikan dampak serius bagi kesehatan mental seseorang.

“Bullying, terutama di lingkungan profesional seperti pendidikan kedokteran, dapat memiliki dampak yang sangat serius pada kesehatan mental seseorang. Sehingga harus dihilangkan,” tutur Arzeti. 

DPR menilai, pemutusan rantai bullying harus dilakukan secara kolaborattif dari semua pihak. Termasuk, kata Arzeti, dengan membentuk tim khusus untuk menangani fenoma bullying ini.

“Diharapkan lingkungan pendidikan kedokteran dapat menjadi lebih aman dan mendukung bagi semua peserta didik. Kalau perlu ada tim khusus dalam melakukan investigasi,” ujarnya.

“Agar kedepannya kejadian ini tidak terulang lagi. Dan profesi dokter bersih dari  bullying, karena sangat miris sekali kalau semestinya dokter mengobati pasien tapi malah harus sibuk menyembuhkan diri sendiri akibat kena mental,” tutup Arzeti.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *