Jakarta, Jejakpos.id – PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011 Chandra Hamzah menyarankan agar pasal kerugian negara dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dikaji ulang.
Dia menilai bahwa definisi kerugian negara dalam pasal tersebut kerap digunakan secara serampangan dalam kasus-kasus korupsi, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Chandra menekankan pentingnya membedakan antara kerugian negara yang nyata dan potensi kerugian yang belum pasti.
Pasal kerugian negara, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, menjadi dasar dalam banyak kasus korupsi di Indonesia. Namun, menurut Chandra, pasal tersebut sering digunakan tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Banyak kasus yang hanya melihat potensi kerugian langsung dianggap sebagai kerugian negara, padahal dalam bisnis ada dinamika yang harus diperhatikan,” kata Chandra dalam keterangan yang diterima, Rabu (25/9/2024).
Lebih lanjut, Chandra mengusulkan agar pasal kerugian negara dalam UU Tipikor diperjelas agar tidak mudah disalahgunakan. Definisi yang lebih tegas dan pembagian yang jelas antara kerugian nyata dan potensi kerugian diperlukan agar tidak ada kriminalisasi berlebihan terhadap tindakan bisnis yang sah. Menurutnya, revisi ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis, terutama yang beroperasi di sektor BUMN.
“Kita butuh aturan yang lebih adil. Jangan sampai setiap keputusan bisnis yang membawa risiko dianggap sebagai tindak pidana korupsi hanya karena ada potensi kerugian,” kata Chandra. Dia menambahkan, perubahan ini harus segera dilakukan agar tidak mengganggu iklim investasi dan keberlanjutan perusahaan BUMN yang sering terlibat dalam proyek-proyek besar.
Chandra juga menekankan bahwa akuisisi atau keputusan bisnis yang diambil oleh BUMN seharusnya dievaluasi berdasarkan hasil akhirnya, bukan sekadar potensi kerugiannya. “Tidak semua potensi kerugian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Negara harus mampu membedakan mana risiko bisnis dan mana yang betul-betul merugikan negara secara nyata,” pungkasnya.
Dalam diskusi lebih lanjut, ia berharap penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di BUMN bisa lebih adil dan berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih matang, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan akibat penerapan hukum yang kurang tepat.
Sebagai contoh, Chandra juga mengungkapkan bahwa kasus-kasus akuisisi di BUMN seringkali ditangani secara tidak tepat. Dalam konteks akuisisi, nilai aset yang fluktuatif atau keputusan bisnis yang dianggap tidak menguntungkan kerap dijadikan dasar untuk menuduh adanya kerugian negara, meski belum tentu terjadi kerugian yang faktual.
Ia mencontohkan kasus akuisisi yang dilakukan oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Akuisisi ini dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara oleh sebagian pihak, meskipun pada kenyataannya terdapat aspek bisnis dan risiko yang wajar dalam setiap akuisisi.
“Seharusnya, penegakan hukum terhadap akuisisi di BUMN memperhatikan aspek bisnis secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada satu sisi potensi kerugian,” tambahnya.
Chandra menilai bahwa dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum terlalu cepat menggunakan pasal kerugian negara untuk menjerat pelaku, tanpa mempertimbangkan dinamika bisnis yang kompleks.
“Penegak hukum perlu memahami bahwa risiko kerugian dalam bisnis, termasuk akuisisi, adalah hal yang wajar dan tidak selalu mencerminkan tindak pidana korupsi,” jelasnya.