JAKARTA, JEJAKPOS.ID – Politikus Muda PDI-Perjuangan yang juga Ketua Generasi Muda Patriot Bela Bangsa mengkritik upaya revisi UU TNI tersebut. Alasannya, rencana revisi UU TNI justru memundurkan semangat reformasi.
Salah satu poin yang menjadi atensi adalah perubahan Pasal 47 yakni adanya penambahan lembaga yang menjadi lokasi penugasan TNI. Dalam salah satu klausul disebut soal pembolehan anggota TNI-Polri untuk ditempatkan di kementerian/lembaga berdasarkan permintaan instansi terkait.
“Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini. Ditambah lagi, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” Ucap Puji Suhartono, Politikus PDI-Perjuangan yang juga Ketua Generasi Muda Patriot Bela Bangsa, Senin (17/3/2025).
Menurutnya melihat dari beberapa faktor. Pertama, pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. (Tambahnya)
Puji menilai, penghapusan tersebut membahayakan karena membuat pengerahan dan penggunaan TNI bisa di luar persetujuan dan kontrol presiden. TNI dikhawatirkan dapat bergerak dalam isu keamanan dengan dalih operasi militer tanpa keputusan presiden sebagai supremasi sipil.
Kedua, kami juga khawatir dengan perluasan dan penambahan jenis-jenis operasi militer selain perang (OMSP) lewat perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 di UU TNI. Penambahan tersebut, dalam kacamata koalisi, tidak berkaitan dengan kompetensi militer seperti penanggulangan narkotika atau dorongan perluasan keterlibatan TNI di sipil seperti pengamanan proyek nasional.
Selain itu, perubahan OMSP juga diikuti dengan kemudahan pelaksanaan OMSP karena tidak bisa dikontrol dan diawasi DPR.
Ketiga, jabatan sipil yang diduduki oleh sipil dengan merevisi Pasal 47 ayat 2. Meng-khawatirkan penambahan ruang peran TNI akan memicu kembali dwifungsi era Orde Baru.
“Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru,” ucap Puji Suhartono.
Puji mengingatkan bahwa jabatan sipil yang di duduki TNI aktif sesuai RUU TNI membuka ruang TNI kembali berpolitik. Hal itu memundurkan semangat reformasi yang menempatkan TNI sebagai pertahanan negara.
Selain itu, perluasan juga membuka peluang TNI duduk di jabatan sipil, padahal sekitar puluhan anggota TNI aktif menduduki kursi di BUMN. Hal ini belum termasuk TNI yang menduduki jabatan politis seperti Penjabat Bupati, Walikota maupun Gubernur.
“Penting untuk dicatat, “Kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro-demokrasi pada 1998″. Oleh karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan secara perlahan ingin mengembalikan model politik Otoritarian Orde Baru,” Tutup Puji Suhartono